Kemarin malam tiba-tiba saya jadi memikirkan kata „mungkin“. Tiba-tiba? Tidak juga sih, dalam rangka kerja sebenarnya, tidak datang begitu saja. Iseng banget kalau pikiran itu muncul tiba-tiba, walaupun kadang terjadi juga, hehe.
Si „mungkin“ ini membuat saya penasaran karena sering sekali muncul, bahkan di beberapa bagian digunakan bersamaan dengan berbagai kata bermakna setara menjadi seperti ini: „mungkin nanti kalau coba“. Redundan, tetapi itu yang muncul di hadapan saya. Terjadi, nyata, ada rekamannya, hehe. Lalu saya langsung memaknai ujaran itu menjadi „tidak“. Saya juga „gregetan“ ketika kata „mungkin“ dipakai untuk menyatakan sesuatu yang sebenarnya sudah pasti. Duh, kenapa ngga pakai kata yang pasti-pasti saja sih?! Kenapa ujaran atau situasi yang sudah pasti direlatifkan lagi dengan kata „mungkin“, kan bikin bingung.
Namun, ternyata tampaknya hanya saya yang bingung, orang yang diajak bicara tampaknya tidak tuh. Percakapan berjalan mulus-mulus saja, secara verbal dan nonverbal terlihat sangat kooperatif, tidak ada „pertentangan“, aman-aman saja. Jadi, si „mungkin“ tidak berpengaruh apapun, kan? Bisa jadi, bisa juga tidak. Lihat, saya pun mulai merelatifkan kalimat saya sendiri, dengan mempertentangkan „ternyata“ dengan „tampaknya“ dan menggunakan „bisa jadi.“ Maunya saya apa sih?
Ini yang membuat saya semalaman sok berpikir jauh. Manusia toh bermain dengan kata, kalimat, bahasa, sengaja atau tidak sengaja. Dengan atau tanpa maksud, baik maksud yang disadari atau tidak disadari. Kata dipilih, kalimat dibuat. Indikatif disandingkan dengan konjunktif. Pernyataan dengan pertanyaan. Kepastian dengan ketidakpastian (jika tidak mau menyebutnya keraguan). Jangan salah, kata, kalimat dan bahasa yang dipilih juga bisa sangat politis. Politis dalam makna luas. Berhubungan dengan kuasa. Kuasa dalam makna luas pula. Siapa bisa, berhak dan memilih bicara, siapa yang lebih memilih atau terpaksa diam.
„Dan berbahagialah orang Indonesia karena kalian memiliki kata ‚mungkin‘“, demikian kata teman diskusi saya tadi siang. „Mungkin“ dalam konteks Indonesia adalah kata yang tidak mengandung penilaian baik atau buruk, benar atau salah. „Mungkin“ dapat membuka peluang besar dan luas untuk masuknya unsur-unsur lain di luar sesuatu yang dianggap pasti. “Mungkin” dapat menjadi penanda masa depan yang kita tidak pernah tahu akan seperti apa. “Mungkin” dapat mengandung makna penyerahan pada sesuatu atau seseorang yang dianggap lebih “berkuasa”. “Mungkin” dapat menjadi penanda kewaspadaan: melihat dulu situasi, melihat dulu waktu yang tepat, melihat dengan siapa saya berhadapan. Perlu bicara atau diam. Perlu dilanjutkan atau tidak.
Lihat, saya kembali merelatifkan kalimat-kalimat saya dengan menyandingkan kata „mungkin“ dengan kata-kata setara lainnya: kata-kata yang setara tidak pastinya, yang abstrak. Itu sengaja saya lakukan, karena saya ingin menegaskan (pun untuk diri saya sendiri) bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup ini, selain kematian. Itupun waktunya entah. Namun, itu juga berarti bahwa dalam hidup ada banyak peluang, celah, pilihan, kemungkinan atau apapun lah namanya. “Kalau bukan yang ini, mungkin yang itu.”
Itu kalau mau diambil sisi positifnya ya. Terus terang, semakin ke sini saya tidak bisa lagi membedakan dengan jelas antara „penyangkalan“ dengan „mencoba berpikir positif“. Namun, kali ini saya ingin menyugesti diri saya dengan „mencoba berpikir positif“ tanpa mengenyampingkan „kemungkinan“ lain yang „mungkin“ muncul dari kata „mungkin“ ini. Apakah saya sudah terdengar sedikit positif? Tidak juga tampaknya, malah terdengar „skeptis“, haha. Jadi, bisa dilihat kan, jika sesuatu dilakukan dengan berlebihan, jika kata dipakai berlebihan, maka jadinya tidak sesuai dengan yang diinginkan, hehe.
Daripada semakin melantur, saya kembali ke sisi lain yang mungkin muncul dari kata „mungkin“. Dalam beberapa konteks, kata „mungkin“ dan kata-kata modalitas lainnya, justru sering digunakan untuk „meneguhkan“ dan atau „melanggengkan kuasa“ (ini istilah seorang sahabat saya), bahkan menurutnya „pasti itu terikat dengan budaya orang Indonesia yang tidak mau memberi kepastian, karena tidak ada kemampuan atau tidak mau bertanggung jawab atas statementnya.“ Hipotesis yang cukup menarik, jika dikaitkan dengan konteks dan situasi sosial politik di Indonesia bertahun-tahun belakangan ini. Tampaknya sahabat saya cukup skeptis melihat kondisi ini. Berbeda dengan teman diskusi saya tadi siang yang berusaha melihat bahwa kondisi „yang terlihat“ buruk di Indonesia juga sebenarnya terjadi di manapun, jika saja orang mau melihatnya dengan kritis dan tidak menganggap rumput tetangga terlihat lebih hijau dari rumput di rumah sendiri. Tidak menganggap yang satu lebih baik dari yang lainnya. Sama saja.
Lalu, di posisi mana saya berdiri? Saya tidak akan dan tidak dapat menjawab dengan jelas di mana posisi saya. Saya orang dalam yang saat ini berada di luar, yang bahkan ketika di dalam pun saya sering merasa „tidak ada di dalam“. Saya mengalami, tetapi saya juga mengamati. Saya dekat, tetapi saya juga berjarak. Namun, satu hal yang semakin ke sini semakin saya tahu pasti, saya mensyukuri kondisi ini, yang memungkinkan saya dapat membuat banyak pilihan, melihat dari banyak sisi untuk kemudian memutuskan di mana saya akan berdiri. Berada di tengah juga pilihan, bukan? Seperti tidak berpendapat juga adalah sebuah pilihan. Mungkin, saat ini itu yang saya lakukan. Tidak tahu nanti. Apapun mungkin. Semua mungkin. Bisa jadi, semua bisa jadi mungkin :)
Bayreuth, 170812