Merefleksikan Mungkin

Kemarin malam tiba-tiba saya jadi memikirkan kata „mungkin“. Tiba-tiba? Tidak juga sih, dalam rangka kerja sebenarnya, tidak datang begitu saja. Iseng banget kalau pikiran itu muncul tiba-tiba, walaupun kadang terjadi juga, hehe.

Si „mungkin“ ini membuat saya penasaran karena sering sekali muncul, bahkan di beberapa bagian digunakan bersamaan dengan berbagai kata bermakna setara menjadi seperti ini: „mungkin nanti kalau coba“. Redundan, tetapi itu yang muncul di hadapan saya. Terjadi, nyata, ada rekamannya, hehe. Lalu saya langsung memaknai ujaran itu menjadi „tidak“. Saya juga „gregetan“ ketika kata „mungkin“ dipakai untuk menyatakan sesuatu yang sebenarnya sudah pasti. Duh, kenapa ngga pakai kata yang pasti-pasti saja sih?! Kenapa ujaran atau situasi yang sudah pasti direlatifkan lagi dengan kata „mungkin“, kan bikin bingung.

Namun, ternyata tampaknya hanya saya yang bingung, orang yang diajak bicara tampaknya tidak tuh. Percakapan berjalan mulus-mulus saja, secara verbal dan nonverbal terlihat sangat kooperatif, tidak ada „pertentangan“, aman-aman saja. Jadi, si „mungkin“ tidak berpengaruh apapun, kan? Bisa jadi, bisa juga tidak. Lihat, saya pun mulai merelatifkan kalimat saya sendiri, dengan mempertentangkan „ternyata“ dengan „tampaknya“ dan menggunakan „bisa jadi.“ Maunya saya apa sih?

Ini yang membuat saya semalaman sok berpikir jauh. Manusia toh bermain dengan kata, kalimat, bahasa, sengaja atau tidak sengaja. Dengan atau tanpa maksud, baik maksud yang disadari atau tidak disadari. Kata dipilih, kalimat dibuat. Indikatif disandingkan dengan konjunktif. Pernyataan dengan pertanyaan. Kepastian dengan ketidakpastian (jika tidak mau menyebutnya keraguan). Jangan salah, kata, kalimat dan bahasa yang dipilih juga bisa sangat politis. Politis dalam makna luas. Berhubungan dengan kuasa. Kuasa dalam makna luas pula. Siapa bisa, berhak dan memilih bicara, siapa yang lebih memilih atau terpaksa diam.

„Dan berbahagialah orang Indonesia karena kalian memiliki kata ‚mungkin‘“, demikian kata teman diskusi saya tadi siang. „Mungkin“ dalam konteks Indonesia adalah kata yang tidak mengandung penilaian baik atau buruk, benar atau salah. „Mungkin“ dapat membuka peluang besar dan luas untuk masuknya unsur-unsur lain di luar sesuatu yang dianggap pasti. “Mungkin” dapat menjadi penanda masa depan yang kita tidak pernah tahu akan seperti apa. “Mungkin” dapat mengandung makna penyerahan pada sesuatu atau seseorang yang dianggap lebih “berkuasa”. “Mungkin” dapat menjadi penanda kewaspadaan: melihat dulu situasi, melihat dulu waktu yang tepat, melihat dengan siapa saya berhadapan. Perlu bicara atau diam. Perlu dilanjutkan atau tidak.

Lihat, saya kembali merelatifkan kalimat-kalimat saya dengan menyandingkan kata „mungkin“ dengan kata-kata setara lainnya: kata-kata yang setara tidak pastinya, yang abstrak. Itu sengaja saya lakukan, karena saya ingin menegaskan (pun untuk diri saya sendiri) bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup ini, selain kematian. Itupun waktunya entah. Namun, itu juga berarti bahwa dalam hidup ada banyak peluang, celah, pilihan, kemungkinan atau apapun lah namanya. “Kalau bukan yang ini, mungkin yang itu.”

Itu kalau mau diambil sisi positifnya ya. Terus terang, semakin ke sini saya tidak bisa lagi membedakan dengan jelas antara „penyangkalan“ dengan „mencoba berpikir positif“. Namun, kali ini saya ingin menyugesti diri saya dengan „mencoba berpikir positif“ tanpa mengenyampingkan „kemungkinan“ lain yang „mungkin“ muncul dari kata „mungkin“ ini. Apakah saya sudah terdengar sedikit positif? Tidak juga tampaknya, malah terdengar „skeptis“, haha. Jadi, bisa dilihat kan, jika sesuatu dilakukan dengan berlebihan, jika kata dipakai berlebihan, maka jadinya tidak sesuai dengan yang diinginkan, hehe.

Daripada semakin melantur, saya kembali ke sisi lain yang mungkin muncul dari kata „mungkin“. Dalam beberapa konteks, kata „mungkin“ dan kata-kata modalitas lainnya, justru sering digunakan untuk „meneguhkan“ dan atau „melanggengkan kuasa“ (ini istilah seorang sahabat saya), bahkan menurutnya „pasti itu terikat dengan budaya orang Indonesia yang tidak mau memberi kepastian, karena tidak ada kemampuan atau tidak mau bertanggung jawab atas statementnya.“ Hipotesis yang cukup menarik, jika dikaitkan dengan konteks dan situasi sosial politik di Indonesia bertahun-tahun belakangan ini. Tampaknya sahabat saya cukup skeptis melihat kondisi ini. Berbeda dengan teman diskusi saya tadi siang yang berusaha melihat bahwa kondisi „yang terlihat“ buruk di Indonesia juga sebenarnya terjadi di manapun, jika saja orang mau melihatnya dengan kritis dan tidak menganggap rumput tetangga terlihat lebih hijau dari rumput di rumah sendiri. Tidak menganggap yang satu lebih baik dari yang lainnya. Sama saja.

Lalu, di posisi mana saya berdiri? Saya tidak akan dan tidak dapat menjawab dengan jelas di mana posisi saya. Saya orang dalam yang saat ini berada di luar, yang bahkan ketika di dalam pun saya sering merasa „tidak ada di dalam“. Saya mengalami, tetapi saya juga mengamati. Saya dekat, tetapi saya juga berjarak. Namun, satu hal yang semakin ke sini semakin saya tahu pasti, saya mensyukuri kondisi ini, yang memungkinkan saya dapat membuat banyak pilihan, melihat dari banyak sisi untuk kemudian memutuskan di mana saya akan berdiri. Berada di tengah juga pilihan, bukan? Seperti tidak berpendapat juga adalah sebuah pilihan. Mungkin, saat ini itu yang saya lakukan. Tidak tahu nanti. Apapun mungkin. Semua mungkin. Bisa jadi, semua bisa jadi mungkin :)

Bayreuth, 170812

„Hallo!“ „Danke!“ dan teman-temannya

Dua bulan lalu seorang teman yang berkunjung ke Bayreuth memberi komentar, katanya saking kecilnya kota Bayreuth sampai saya kenal dengan semua orang, begitu juga sebaliknya saya mengenal mereka: sopir taxi, sopir bis, resepsionis hotel, kasir di supermarket, orang yang bertemu di jalan, dll. Indikasinya adalah karena saking seringnya saya bilang „Hallo!“ kemudian berbincang dengan mereka. Sampai-sampai teman saya itu menjuluki saya sebagai „walikota“nya Bayreuth, karena katanya saya mengenal hampir semua orang.

Komentar teman saya itu tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar juga. Memang sih, setiap saya pergi terutama ke kota, pasti saja bertemu dengan orang yang sama atau sering bertemu dengan orang-orang yang saya kenal. Maklum, kota ini memang kecil, hanya berpenduduk sekitar 80 ribu orang. Wajar lah ya kalau jadinya saya juga sering ber“hallo, hallo“ dan ngobrol sebentar dengan beberapa orang yang saya temu di jalan.

Namun, kata sapaan „hallo“ ini sebenarnya satu bentuk ritual sapaan yang wajar dilakukan di Jerman ini, selain kata sapaan lain seperti „Guten Tag“, „Tag“, „Gruß dich“, „Moin!“ atau „Gruß Gott“. Orang menyalami siapapun yang mereka temui di jalan, saat memasuki sebuah tempat, walaupun kita tidak mengenal orang-orang tersebut. Jadi jangan heran, saat masuk ke ruang tunggu praktek dokter orang menyapa „Hallo!“ atau „Tag!“ kepada orang-orang yang sedang menunggu, atau menyapa sopir bis dan kasir di supermarket dengan „Hallo“ atau „Gruß Gott!“, termasuk menyapa orang yang berpapasan di tangga atau di lift. Tak perlu kita mengenal orang tersebut, sapaan ini diucapkan sebagai sebagian kecil dari bentuk interaksi yang dalam konteks Luhmann berarti „merasakan“ keberadaan orang lain dan „menunjukkan“ keberadaan kita.

Kata sapaan ini sebenarnya hanya sebentuk ujaran verbal yang kecil saja, selebihnya kita lebih banyak menyadari keberadaan orang lain dan menunjukkan keberadaan kita dengan cara lain yang sifatnya nonverbal. Kadang –sering bahkan- kata sapaan ini diucapkan begitu saja, tanpa diiringi dengan prosodi dan intonasi yang „diharapkan“ mendukung „makna“ kata sapaan ini jika diujarkan, pun kadang tanpa ditunjang oleh mimik dan gestik yang „kebayangnya“ mengikuti kata sapaan ini. Jadi, jangan heran pula kalau kata sapaan „Hallo“ atau „Tag“ dan lain-lain tadi hanya diujarkan lurus saja tanpa ekspresi, bahkan kadang tanpa adanya kontak mata atau senyum. Jangan heran, ini „ritual“ yang kadang hanya dilakukan sekedar menjalani fungsinya sebagai „saling menyapa“, tetapi tanpa makna yang lebih dari itu. Idealnya tentu melaksanakan „ritual“ dengan menjalankan maknanya juga. Namun, manusia terlalu sibuk dan terburu-buru untuk itu, hehe.

Selain kata sapaan „Hallo!“ dan lain-lain di atas, kata terima kasih „Danke“ juga sering diucapkan kepada siapapun. Pola berpasangan „Hallo!“ – „Danke“ – „Auf Wiedersehen/Tschüß/Ciao“ sangat lazim ditemukan misalnya dalam situasi membayar di kasir supermarket atau „Hallo!“ – „Tschüß“ saat berada dalam satu lift dengan orang lain. Jadi, pertemuan dibuka dan ditutup dengan ujaran verbal. Jangan disinggung soal elemen-elemen nonverbal yang diharapkan menyertainya, ya. Jangan berharap lebih pula. Namun, pola berpasangan dalam ritual sapa-menyapa, berterima kasih dan berpisah ini saya rasa cukup menarik untuk disimak. Ini sifatnya kultural dan secara sosiologis akhirnya berakar kuat dalam pola interaksi masyarakatnya. Maka untuk orang yang datang dari latar belakang budaya dan sosiologi yang berbeda, yang memiliki ritual interaksi yang berbeda pula, hal-hal kecil semacam ini mungkin awalnya akan terasa asing. Begitu juga dengan mereka yang datang dari latar belakang budaya yang saling menyapa dengan verbal –tanpa dukungan unsur nonverbal- akan merasa asing saat berada dalam situasi interaksi dalam masyarakat yang berkonteks budaya tinggi, di mana unsur nonverbal mendapat tempat yang lebih dibandingkan unsur verbal. Misalnya menyapa „hanya“ dengan tersenyum atau menganggukkan kepala atau mengangkat tangan saja. Itu bentuk interaksi dan komunikasi juga, seperti kata Watzlawick: manusia tidak bisa tidak berkomunikasi.

Berada cukup lama dalam lingkup budaya yang lekat dengan situasi interaksi verbal seperti di Jerman ini, kadang membuat saya juga jadi ikut melakukannya di saat saya berada di dalam satu situasi budaya lain yang berbeda. Misalnya di Indonesia saya juga sering mengucapkan „Hallo“ kepada kasir di supermarket. Kalau ke sopir angkot atau sopir bis agak sulit, karena mereka kadang tetap menjalankan kendaraannya saat saya naik. Reaksi yang saya dapat adalah pandangan heran, saat saya misalnya menyapa kasir super market atau pelayan restoran dengan salam “hallo”. “Terima kasih” juga sering saya ucapkan, sampai beberapa orang teman saya di Indonesia heran karena saya katanya sering sekali berterima kasih. Kebiasaan juga sih. Walaupun saya rasa ini kebiasaan yang bagus, karena bagi saya menyap dan berterima kasih ini mengandung makna yang sangat dalam: penghargaan.

Tanpa bermaksud membandingkan ritual interaksi di dalam satu budaya dengan budaya lainnya, saya hanya menyadari bahwa elemen-elemen verbal yang kecil ini pada saat berjumpa, berpisah, berterima kasih –yang kadang keluar begitu saja tanpa dipikirkan dan tanpa maksud khusus- jika ditunjang dengan elemen-elemen lainnya, apalagi jika dipahami benar maknanya, maka akan dapat membawa efek sosial dan psikologis yang besar. Terdengar seperti sedang berbicara tentang ritual keagamaan ya?! Hehe. Saya rasa tak ada bedanya. Kadang orang perlu mengujarkan sesuatu dulu kemudian melakukannya untuk akhirnya memahami nya atau memahami, melakukan dan mengujarkannya. Bebas saja lah, hehe.

Karena perbedaan dalam ritual interaksi tadi, maka tak heran akan ada pula “ruang kosong” dalam satu budaya, bahkan tidak ditemukan ujaran verbalnya, tetapi „ruang kosong“ ini „terisi“ di dalam budaya lainnya –lengkap dengan ujaran verbalnya-. Misalnya di Jerman ini saya “merindukan” kata “punten” dalam Bahasa Sunda yang artinya “permisi” saat saya melewati sekelompok manula yang sedang berjemur sore-sore di tepi danau. Padahal di Bandung, saya selalu berusaha menghindari kata ini, saking banyaknya orang yang bergerombol nongkrong di jalan yang saya lewati dan harus saya “punten”i yang ujung-ujungnya malah sering membuat saya marah karena komentar-komentar yang tidak saya harapkan menjadi jawaban dari kata “punten” tersebut. Namun, dalam satu proses interaksi, apa yang dujarkan bisa dipahami dan direaksikan berbeda, bukan?

Perubahan yang saya rasakan juga terjadi pada proses berujar saya adalah berkurangnya intensitas penggunaan kata “maaf” untuk “permohonan maaf” yang sebenar-benarnya permohonan maaf, bukan yang bermakna „permisi“. Entah, saya jadi irit betul menggunakan kata ini, bahkan cenderung “takut” kalau kata ini sampai akhirnya harus keluar dari mulut saya. Mengapa? Karena jika kata ini terucap biasanya itu diiringi dengan perasaan yang amat sangat tidak enak dan menyesal berkepanjangan dari diri saya pada orang yang saya mintai maaf. Oleh karena itu, sebisa mungkin saya berusaha untuk tidak melakukan apapun atau berkata apapun yang mengakibatkan kata ini harus keluar dari mulut saya. Saya merasa lebih nyaman jika saya ber”terima kasih” lebih banyak daripada sedikit-sedikit minta “maaf”, tapi sedetik kemudian lupa dan melakukan kesalahan yang sama (bahkan lebih parah) sehingga kata „maaf“ hanya jadi sekedar “pemutihan” saja, habis perkara, nanti beda lagi urusannya. Malah mungkin kalau bisa saya lebih suka menggunakan ujaran untuk pemberian maaf. Namun, sampai sekarang, di dalam bahasa-bahasa yang saya pelajari, belum saya temukan satu ujaran khusus –satu kata saja- yang mewakili tindak „pemberian maaf“ ini. Apakah mungkin karena memberi maaf lebih sulit dibandingkan meminta maaf ya?! Atau mungkin ada yang tahu kata yang mewakili tindakan ini?

Palu si Paul

Seorang lelaki ingin menggantung sebuah foto. Paku sudah dia punya, tapi sayangnya dia tidak punya palu. Tetangganya punya palu. Maka, lelaki itu memutuskan untuk datang ke tetangganya dan meminjam palu darinya. Namun, tiba-tiba dia ragu: Apa yang terjadi jika tetanggaku tidak mau meminjamkan palunya? Kemarin saja dia menyapaku sambil lalu. Mungkin dia sedang terburu-buru. Atau mungkin dia hanya pura-pura terburu-buru karena dia tidak suka padaku. Tapi mengapa? Aku tidak berbuat apapun padanya; dia cuma mengada-ngada. Jika seseorang mau meminjam sesuatu dariku, aku akan segera memberikannya. Dan mengapa dia tidak? Bagaimana mungkin orang tidak mau menolong orang lain? Orang-orang seperti dia hanya akan meracuni hidup orang lain. Lalu dia akan menganggap bahwa aku bergantung padanya. Hanya karena dia punya sebuah palu. Baiklah, cukup sampai di sini. – Lalu lelaki itu menggedor pintu rumah tetangganya, berteriak, tetangganya membukakan pintu, tapi sebelum dia berkata „Selamat siang“, lelaki itu sudah berteriak lebih dulu pada tetangganya: „Simpan palu Anda!“.

Bayreuth, 121110

(diterjemahkan dari „Hammer Geschichte“ Paul Watzlawick dalam „Anleitung zum unglücklich sein“ atau „Petunjuk Untuk Tidak Bahagia“)

Koordinasi (Bagian I)

Perkembangan penelitian linguistik di Jerman saat ini sepertinya semakin masuk merasuk ke dalam tataran mikro. Ketika para peneliti bahasa dan komunikasi di negara-negara berbasiskan Bahasa Inggris semakin melihat unsur-unsur di luar bahasa, konteks politik dan sosiopragmatik menjadi bahasan para peneliti analisis wacana kritis, di Jerman yang menjadi awal dari bahasan teori kritis asal mula munculnya analisis wacana kritis, bahasan tersebut semakin terasa jauh. Nama-nama seperti Fowler, Van Leuweun, Sara Mills, Fairclough tidak terlalu terdengar dengungnya, hanya Wodak yang masih sedikit dipakai, dan Van Dijk yang semakin ke sini juga analisisnya semakin masuk ke dalam. Teori konteks terakhir dari Van Dijk juga semakin bersifat individual, bukan konteks yang berada di luar melingkupi teks, tapi konteks yang justru ada di dalam dunia pikiran dan perasaan si pelaku komunikasi (lebih spesifik lagi dalam percakapan). Dijk (2007: 288-289) menyebutkan dalam tulisannya: there is no direct casual or conditional relationship between social characteristic (gender, class, age, roles, group membership, etc.) of participants and the way they talk or write. Rather, it is the way participants as speakers (writers) and recipients subjectively understand, interpret, construct or represent these social characteristics of social situations that influences their production or understanding of their talk or text.

Jadi, konteks menurut Dijk menjadi hal yang sifatnya sangat pribadi dan subjektif, walaupun tentu saja dalam kenyataannya, saat manusia berinteraksi dan berkomunikasi, konteks subjektif ini akan bertemu dan beririsan dengan konteks subjektif-konteks subjektif lainnya, sehingga konteks-konteks ini memiliki properti sosial (meminjam istilah Dijk, walaupun terasa sangat “ekonomi” untuk saya) dan menjadi bersifat intersubjektif. Ketika konteks subjektif beririsan dengan konteks subjektif lainnya, terjadilah apa yang disebut wacana (discourse). Sesuai dengan namanya yang subjektif, sifatnya menjadi relatif dan menjadi bermakna ketika konteks tersebut relevan dengan maksud, pikiran atau perasaan si pelaku komunikasi. “Pengertian” dan “pemahaman” setiap pelaku komunikasi terhadap suatu fenomena komunikasi tertentu awalnya memang disebut Dijk sebagai konteks. Namun, dalam tulisan terbarunya, Dijk lebih suka menggunakan istilah mental model, yang menurutnya lebih mewakilinya teorinya tentang konteks. Dalam mental model terkandung makna representasi mental seorang pelaku komunikasi terhadap sebuah peristiwa atau situasi yang disimpan dalam ingatan episodiknya. Sifatnya relatif, subjektif, parsial, dan bersifat mengontrol semua aspek produksi wacana.

Jika melihat pemikiran Dijk yang cenderung memberi tekanan cukup kuat pada “dunia dalam” para pelaku komunikasi –khususnya dalam percakapan-, rasanya tidak heran kalau di Jerman namanya yang masih cukup sering disebut dalam beberapa artikel tentang konteks dan analisis percakapan. Namun, tentu saja ada “ego” intelektualitas sendiri dari para ilmuwan (mungkin para pakar ilmu bahasa dan humaniora? Bidang lainnya saya tidak terlalu paham) untuk membuat sesuatu yang lain dari yang lainnya. Walaupun bahkan hanya di urusan istilah, yang kadang untuk saya sebagai orang awam tidak perlu terlalu diperdebatkan sampai memakan waktu berjam-jam, karena istilah yang mereka pakai toh tetap sama saja maknanya :)

Perkembangan analisis percakapan, yang sebenarnya berasal dari Amerika, di Jerman juga semakin merasuk detil ke dalam struktur mikro percakapan, setelah tataran interaksi dan makro „dikuasai“ oleh para analis percakapan negara berbahasa Inggris. Pada tataran ini, struktur mikro yang dibahas tidak lagi hanya fungsi jeda dan intonasi, alih tutur dan reparasi, tidak hanya membahas register dan diksi, tidak lagi hanya melihat bangun struktur suatu percakapan, namun melihat bagaimana satuan-satuan luar bahasa verbal yang menyertai ujaran-ujaran verbal (baik statis atau dinamis) saling jalin menjalin membentuk satu pemahaman (konteks) terhadap satu fenomena tertentu dalam proses interaksi. Istilah komunikasi tidak digunakan lagi dalam perkembangan penelitian bahasa di Jerman, karena dalam istilah komunikasi cenderung terkandung makna akhir yang bersifat sama, komunal, sedangkan dalam suatu peristiwa berbahasa tidak tertutup kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian yang sifatnya juga dinamis, sehingga istilah interaksi, yang dikemukakan pertama kali oleh Goffmann (1983), lebih sering digunakan. Saya sendiri termasuk orang yang bersetuju dengan istilah ini, mengingat dinamika yang muncul saat orang bercakap-cakap atau saat menulis sekalipun.

Jadi, saat para pelaku percakapan berinteraksi, terjadi jalinan yang kuat antara unsur-unsur verbal yang diujarkan dengan unsur-unsur nonverbal yang melingkupinya. Ruang-waktu tempat kapan percakapan itu terjadi, tinggi-rendah-lambat-cepat nada dan suara yang digunakan, gestikulasi-mimik-tatapan mata-gerak kepala-gerak alis yang menyertai ujaran-ujaran tersebut, bahkan helaan nafas dalam diam tak berujar pun dapat memberikan makna lain untuk si pelaku percakapan dan atau pada si mitra bicaranya. Media telefon, internet, museum, ruang kelas, bahkan ruang latihan dansa pun menjadi bagian dari pemaknaan terhadap suatu peristiwa interaksi tertentu. Semua hal di luar unsur verbal yang melingkupi, menyertai dan memengaruhi pemahaman terhadap suatu peristiwa interaksi tertentu disebut multimodalitas. Istilah multimodalitas ini awalnya diperkenalkan oleh Kendon (1990) yang menolak anggapan tentang „particular modality of communication is more salient than another“. Untuknya, semua aspek yang ada saat suatu proses interaksi terjadi adalah penting dan menjadi satu kesatuan utuh yang membentuk satu konteks pemahaman tertentu terhadap satu fenomena tertentu pula. Satu kesatuan yang utuh ini disebut Deppermann dan Schmitt (2007) sebagai koordinasi.

Koordinasi berasal dari bahasa Latin yang bermakna mengatur, pengaturan, dalam bahasa Jerman bermakna das ordnende Zusammenfassen, die Abstimmung, Zuordnung (penyimpulan yang teratur, persetujuan, penyesuaian, pengaturan) dan dalam bahasa Indonesia bermakna perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur, sedangkan dalam bidang linguistik bermakna penggabungan satuan gramatikal yang sederajat dengan konjungsi koordinatif (KBBI Daring 2007). Dalam konteks koordinasi dalam sebuah interaksi, Deppermann/Schmitt menyoroti aspek-aspek yang mendukung terjadinya koordinasi antara ujaran verbal dan aspek „lingkupannya“, terutama aspek waktu (pelaku interaksi ada di ruangwaktu tertentu untuk tujuan tertentu, dengan tindakan dan ujaran tertentu pada ruangwaktu itu), ruang (berkaitan erat dengan waktu, ruang juga membawa implikasi yang berbeda dalam suatu proses interaksi), multimodalitas (menyatakan „kehadiran“ dan cara bertindak dalam suatu proses interaksi dengan tataran ungkapan yang beragam)  dan orientasi persona majemuk („penyesuaian“ yang bersifat interaktif dengan pelaku peristiwa interaksi lainnya).

Mengambil contoh suatu situasi percakapan dalam proses interaksi antara dosen dan mahasiswa, mahasiswa misalnya menganggap bahwa dia sudah menggunakan pemilihan kata yang tepat untuk situasi percakapan di ruang dosen yang formal dan waktu bicara yang juga „formal“ (di jam kerja atau jam bicara dosen). Register dan diksi yang dipilih mungkin biasa digunakan dalam situasi tersebut, namun tidak diimbangi dengan volume suara yang „lazim“ untuk situasi di ruang dan waktu yang katakanlah formal tersebut, misalnya dia bicara terlalu pelan atau terlalu keras, terlalu cepat atau terlalu lambat. Tidak bisa diabaikan bagaimana dia mengedipkan mata, menggerakkan kepala, tersenyum, menggerakkan tangan, menggerakkan bahu, dan menggerakkan kakinya sebelum suatu satuan  verbal dijarkan, saat satuan verbal diujarkan, dan setelah ujaran verbal diujarkan. Bagaimana situasi ruangan tempat proses interaksi itu terjadi? Posisi meja, kursi, lukisan, lampu, baju yang digunakan, alat tulis yang dibawa, dan lain sebagainya. Apakah benda-benda tersebut lebih menarik perhatiannya dibandingkan rekan bicaranya atau benda tersebut menjadi pengalih perhatiannya jika dia tidak merasa cukup nyaman dengan ujarannya atau dengan ujaran rekan bicaranya? Atau benda-benda tersebut justru mendukung ujarannya atau ujaran rekan bicaranya? Sebagai alat penunjuk, penegas, yang memperlemah atau justru memperkuat? Jika suatu “kesalahpahaman” muncul dalam suatu interaksi (kesalahpahaman dalam makna yang luas), unsur yang satu menunjang unsur yang lain, aspek yang satu menunjang aspek yang lainnya. Ada kemungkinan si mahasiswa bereaksi dengan ujaran dan sikap tertentu karena melihat tatapan mata, gerakan alis atau senyum bahkan tarikan nafas si dosen, misalnya. Atau seorang dosen bereaksi dan berujar sesuatu karena memang berniat menegaskan atau memperlemah atau memojokkan atau mendukung si mahasiswa atau mungkin juga karena melihat sikap, gerakan, ujaran atau apa yang dikenakan si mahasiswa misalnya. Semua saling berkait, dan proses interpretasi terhadap suatu ujaran yang keluar –sekecil apapun itu- tidak bisa lepas pemaknaannya dari faktor-faktor di atas. Sekali lagi, sifatnya intersubjektif. Saling berhubungan. Satu menyebabkan yang lain. Tampaknya hukum kausalitas berlaku di sini.

(Bersambung, keburu ngantuk :))

Budaya Komunikasi – Komunikasi Budaya?

Hari Jumat dan Sabtu kemarin mengikuti seminar dua hari bertemakan „Kommunikationskultur – Theorie und Forschung“ yang diadakan oleh Lehrstuhl Kultur und Religionssoziologie Universitas Bayreuth, setidaknya cukup bisa membuat saya beranjak dari suasana hati dan pikiran bahwa saya di Bayreuth sedang berlibur. Saya sedang kuliah, jadi harus segera bangkit dari kemalasan dan keinginan jalan-jalan terus. Btw, kuliahnya sih saya suka, asal jangan diminta membuat tugas.

Jadi, para sosiolog yang datang dari berbagai penjuru Jerman, ada juga yang datang dari Swiss, berkumpul di aula canggih Fakultas Angewandte Informatik. Beberapa nama sudah saya kenal, dan akhirnya bisa bertemu muka juga. Rupanya seminar dua hari itu dimaksudkan dalam rangka memperingati 50 tahun Hubert Knoblauch, yang judul bukunya dijadikan judul seminar ini. Tema yang diangkat dan ditampilkan berkisar pada tema Kommunikative Gattung dan Gattungsanalyse. Tidak semua tema yang disampaikan  oleh 11 pembicara yang semuanya profesor bisa saya mengerti, kebanyakan malah tidak. Namun, ada juga beberapa tema yang menarik dan cukup bisa saya ikuti.

Saya tidak akan membahas masing-masing tema yang memang sangat-sangat teoretis. Yang menarik perhatian saya justru bagaimana budaya seminar dan komunikasi antarpelaku dunia akademis terjadi di sini.  Ini memang bukan pertama kalinya saya ikut seminar semacam itu, tahun 2003 dulu saya pernah mengikuti konferensi yang lebih besar lagi di Wina, Austria. Namun, justru karena lingkupnya agak kecil, saya jadi bisa mengamati dengan lebih jelas.

Seminar dibuka tepat jam 9, setelah para peserta datang, mendaftarkan diri, dan saling menyapa. Tidak banyak peserta yang mengikuti seminar ini, entah karena publikasi yang kurang atau memang karena temanya terlalu spesifik. Tanpa basa-basi terlalu banyak, acara langsung dibuka dengan sambutan pendek dari Dekan Fakultas Kultur- und Religionswissenschaft dan sabmbutan dari ketua panitia. Semua dilakukan dengan suasana yang cukup santai, tidak ada formalitas apapun. Tidak menunggu lama, pembicara pertama memulai presentasinya. Di jadwal acara, setiap orang mendapat jatah waktu 45 menit untuk bicara dan diskusi. Namun, pada kenyataannya waktu 45 menit terlewati sampai 90 menit untuk bicara dan diskusi. Acara diskusi ini yang memakan waktu cukup lama. Diskusi atau mungkin lebih tepat disebut debat ilmiah berlangsung seru. Para profesor sosiologi itu saling mengungkapkan pendapat, kritik, pendapat, atau saran dengan sangat terbuka. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masing-masing dari mereka tidak setuju, dan itu diungkapkan, namun jika setuju pun biasanya –dan ini khas Jerman- mereka selalu menambahkan „aber…“ atau „tetapi…“. Tentu saja tetapinya lebih banyak dari persetujuan mereka. Debat pada pembicara cukup seru, ketika seorang profesor muda –perempuan- mendebat dengan keras statement pembicara yang sudah senior (dari segi usia dan pengalaman)  -pria- . Keterbukaan suasana diskusi dan debat rupanya tidak berjalan mulus, karena ketika si profesor perempuan tadi bicara, giliran si bapak yang mendebat dengan keras, dan akhirnya terjadi adu mulut yang mengakibatkan si profesor muda tersinggung dan meninggalkan podium. Hmm, terjadi juga rupanya hal-hal semacam ini. Namun, di luar saat istirahat, mereka berdua berpelukan, dan saat diskusi selanjutnya, si bapak meminta maaf di depan forum pada si profesor muda. Rasanya hal seperti ini yang jarang –atau mungkin belum pernah- saya temukan di seminar-seminar yang saya ikuti di Indonesia, mungkin karena memang jarang juga sampai ada debat cukup sengit dan semua peserta dan pembicara saling menjaga perasaan. Mungkin bagus juga.

Saya berharap presentasi yang disampaikan semenarik debatnya, sayangnya tidak saya temukan. Hanya satu orang yang mempresentasikan materinya dengan bebas, tidak membaca teks, sisanya membaca teks yang bisa sampai berlembar-lembar, seperti sedang memberikan ceramah. Kalaupun ada power point biasanya hanya jadi latar belakang saja, tidak membantu banyak, karena slide-slide yang ditampilkan pun tidak terlalu menarik. Ini yang sering dikritik oleh teman-teman dari jurusan eksakta, bahwa orang-orang ilmu sosial itu hanya memindahkan word ke dalam power point. Tidak menarik, katanya. Tema-tema yang disampaikan pun sayangnya hanya berkutat di masalah teori. Hanya dari Spanyol dan Swiss yang memberikan penelitian empirisnya. Saya tidak tahu apakah ini kelemahan atau kelebihan, ketika seseorang mendalami bidangnya dengan begitu dalam, akhirnya jadi tidak tahu –atau mungkin tidak tertarik- pada hal-hal lain di luar bidangnya. Namun, ini akan membuat dia menjadi tahu sampai sedetil-detilnya. Dan hal ini terjadi dalam seminar kemarin. Mereka paham bidang mereka sampai detil, sampai pemilihan kata dan istilah pun diperdebatkan. Saya tertarik pada sosiologi, tapi karena memang tidak mendalami itu sedalam-dalamnya, akhirnya jadi bertanya-tanya –sambil kadang terkantuk-kantuk juga- untuk apa mereka mendebatkan itu. Walaupun mungkin memang begitu ketika orang sudah mendalami suatu hal, hal kecil saja akan menjadi perhatian. Saya juga ternyata bisa berdiskusi panjang lebar tentang kata ganti orang, misalnya. Hal yang untuk banyak orang juga tidak perlu diperdebatkan. Jadi, ya, memang begitu.

Hal lain yang menarik perhatian saya –juga dari pengalaman mengikuti konferensi di Wina dulu- adalah mereka tidak terlalu heboh mengurusi makanan. Enaknya mengikuti seminar atau konferensi di Indonesia adalah makanannya: berlimpah dan sering ada jeda waktu minum teh dan kopi. Dan itu disiapkannya dengan sungguh-sungguh. Menyenangkan, walaupun sering kita jadi kekenyangan karena kebanyakan makan dan terkantuk-kantuk saat mengikuti seminarnya. Di sini tidak, makanan disediakan seadanya. Yang jelas kopi dan teh harus ada. Minuman yang cukup banyak. Makan siang hari pertama cuma Gemüse Lasagna untuk yang minta makanan vegetarian (dan porsinya besar!) dan Fränkische Küche (3 iris tipis daging dan 1 Knödel besar) untuk nonvegetarian. Rehat kopi cuma kopi, teh, dan kue kering yang bisa dibeli murah di supermarket. Malah, teman saya tadi cerita, dia diundang ke acara pembukaan cabang suatu bank, untuk makanan dan minuman, dia harus membayar ekstra 1 €.

Acara makan memang boleh sederhana, tapi saya salut dan kagum dengan profesor-profesor itu, yang bisa tahan minum kopi bercangkir-cangkir sambil diskusi dan berdebat. Saya juga kagum pada daya konsentrasi mereka mendengarkan, sehingga diskusi tidak lari ke mana-mana, melainkan sambung menyambung dari pendapat satu ke pendapat lainnya. Dan mereka bisa mengutip dengan tepat kalimat-kalimat yang diucapkan sebelumnya.

Ngomong-ngomong, sebenarnya saya ini peserta seminar atau pengamat seminar? Dua-duanya. Seminar ini tentang kommunikative Gattung -bahasan saya juga-, dan untuk saya yang lebih tertarik pada masalah bahasa, interaksi pengguna bahasa, serta bagaimana bahasa verbal dan nonverbal diterapkan dalam konteks situasi komunikasi tertentu, menjadi pengamat justru lebih menarik perhatian saya. Biarlah mereka  memperdebatkan teori yang mereka buat dan kritisi sendiri, saya justru melihat aplikasinya. Dalam hal ini bagaimana budaya komunikasi di “ilmiah”kan dan bagaimana budaya “ilmiah” dikomunikasikan. Pelajaran yang belum tentu saya dapat di perkuliahan rutin dan buku teks.

Textkompetenz

Tidak tepat rasanya, jika judul di atas diterjemahkan sebagai kompetensi teks. Namun, saya belum menemukan padanan kata yang cocok dalam Bahasa Indonesia untuk kemampuan memahami suatu teks, mencerapnya, dan bisa menuangkannya kembali dalam bentuk lisan atau tulisan. Teks yang berasal dari bahasa latin „textum“ dan bermakna tenunan, dalam konteks ini dimaksudkan sebagai teks lisan dan tulisan.

Tulisan ini dibuat berdasarkan kekecewaan saya terhadap hasil makalah-makalah mahasiswa saya beberapa waktu lalu. Saya kecewa, karena makalah yang mereka buat jauh dari yang saya harapkan bisa ditulis oleh mahasiswa semester 7. Abaikanlah bahasa Jerman mereka, yang amat sangat jauh dari sempurna, tetapi jika makalah mereka hanya copy paste dari Wikipedia, rasanya wajar saja jika saya sangat kecewa dan marah, karena saya tidak pernah mengajarkan mereka untuk menjadi seorang plagiat. Abaikanlah alasan waktu yang sempit untuk mengerjakannya, saya tidak peduli. Kemudahan teknologi bukan alasan untuk membohongi dan membodohi diri mereka sendiri. Saya kecewa dan sedih, karena saya juga jadi merasa gagal mendidik mereka. Namun, kekecewaan itu bukan milik saya sendiri, semua dosen di jurusan saya merasakannya. Sampai akhirnya diadakan diskusi khusus membahas kejadian ini, dengan narasumber Jutta Kunze, lektor DAAD kami.

Textkompetenz. Salah satu kunci kegagalan kami dalam mendidik mahasiswa ada di sana. Mahasiswa tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam memahami dan memproduksi teks. Untuk mahasiswa sampai semester 4, masih bisa dipahami jika mereka masih ada dalam tahapan belajar dan beradaptasi dengan bahasa Jerman (mata kuliah Bahasa Jerman terpadu diberikan sampai semester 4). Masih bisa juga dimaklumi, jika mereka masih membaca teks-teks pendek, dengan konstruksi morfologi dan sintaksis yang mudah, pun memproduksi teks dengan konstruksi gramatika yang sederhana (lebih banyak menggunakan struktur parataksis, daripada hipotaksis). Namun, jika ini masih terjadi pada mahasiswa semester 5 ke atas, apalagi pada mahasiswa semester 7 dan 8, pasti ada sesuatu yang salah. Dan ini terjadi. Lalu, apa yang salah? Di mana letak kesalahannya? Apakah karena mereka harus membuatnya dalam dan dengan Bahasa Jerman? Pada kenyataannya, dalam Bahasa Indonesia pun mereka tetap mengalami kesulitan. Jadi, masalah bukan terletak dalam penguasaan bahasa.

Pengamatan pada mahasiswa semester atas dan mahasiswa yang sedang menulis skripsi menunjukkan bahwa mereka saat ini cenderung memilih korpus skripsi dari iklan, artikel koran (kebanyakan artikel olah raga dan kecantikan), komik, sastra anak dan remaja yang populer (bukan Märchen seperti dari Gebrüder Grimm, atau dari sastrawan seperti Erich Kästner, Klaus Kordon, atau Cornelia Funke). Bukannya tidak bisa dan tidak diperbolehkan mengambil korpus dengan media-media di atas, namun alasan mereka mengambil media-media di atas adalah karena bahasanya mudah (dari struktur kalimat, kosa kata, gramatika secara umum) dan karena pendek. Alih-alih membaca roman atau drama, puisi pun jarang dilirik karena bahasa dan diksinya yang sulit. Alih-alih membaca rubrik Feuiletton atau ulasan politik atau ekonomi yang cukup ilmiah, rubrik interview pun jarang disentuh, apalagi membuat transkripsi percakapan sendiri. Tak cukup waktu, sulit, ingin cepat lulus.

Tak bisa menyalahkan mereka. Perlu dilihat, mengapa mereka kesulitan memahami teks-teks yang panjang dengan konstruksi bahasa tulisan yang rumit, yang mengakibatkan mereka pun kesulitan memproduksi teks, terutama teks ilmiah. Jawaban yang paling mungkin adalah karena mereka minim membaca. Mereka hanya membaca pasif, itu pun hanya bahan yang diberikan dosen, dibaca jika harus dan jika akan ujian. Bacaan lain pun berkisar pada bacaan populer yang cenderung mengalihkan ragam bahasa lisan ke dalam bahasa tulisan atau komik yang lebih menonjolkan gambar dibandingkan teks. Tak heran, jika wawasan struktur kebahasaan mereka pun terbatas pada struktur subyek – predikat – obyek, dengan panjang tulisan berkisar pada 5 – 10 kalimat, atau struktur kalimat elipsis. Tidak jelas siapa subjek yang melakukan apa untuk siapa pada waktu kapan dan di mana serta mengapa dan bagaimana dilakukannya. Mereka mengalami kesulitan yang cukup besar dalam memahami dan memproduksi teks-teks ilmiah (dalam bahasa Jerman di antaranya ditandai dengan kosa kata khusus, bentuk nominal, berstruktur hipotaksis, serta menggunakan Partizip I dan II). Kekacauan penggunaan kala dalam kalimat seharusnya tidak terjadi lagi pada mahasiswa semester 7, ternyata masih sering terjadi, baik itu dalam bentuk lisan atau tulisan. Yang lebih mengherankan, banyak mahasiswa yang pernah tinggal di Jerman selama 6 bulan sampai 1 tahun pun tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk membaca dan menulis dalam bahasa Jerman. Walaupun untuk kompetensi mendengar dan berbicara memang mereka lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang belum pernah mengalami tinggal di Jerman.

Ironis sekali, karena jika dilihat secara keseluruhan, kompetensi mahasiswa semester 7 pun baru sebatas kompetensi berbahasa tahap awal, yaitu mendengar dan berbicara. Pun sangat mengkhawatirkan, karena dari hasil Germanistentreffen beberapa waktu lalu, lulusan dari Jurusan Jerman diharapkan memiliki Textkompetenz yang tinggi. Mereka harus siap berhadapan dengan teks-teks yang sulit, mampu mengolah dan memahami isi teks yang sering ada di luar dunia pengalaman mereka, mampu membedakan informasi yang penting dan tidak penting, mereduksi isi teks yang rumit dan mempermudahnya untuk disampaikan kembali dalam bentuk lisan dan tulisan, mampu menjelaskan relasi antarteks dan wacana dengan beragam konteks, mampu menstrukturkan dan menyampaikan pengetahuan yang terlepas dari pengalaman mereka, dan pada akhirnya mampu memproduksi teks sendiri dengan beragam sumber dan informasi. Kemampuan ini penting dalam bidang penerjemahan (lisan dan tulisan), pengajaran, dan menurut saya, dalam semua bidang pekerjaan.

Sesungguhnya ini adalah tamparan yang keras untuk kami. Secara teori, ini tidak boleh terjadi. Jika sudah telanjur terjadi, apa yang bisa kami perbaiki? Kurikulum, isi mata kuliah dan sistem pengajaran yang terintegrasi. Mata kuliah menulis ‚Aufsatz’ dan percakapan ‚Konversation’ tidak bisa lepas dari mata kuliah membaca ‚Lesen’ dan ‚Übungen zur Lektüre’, tidak bisa lepas juga dari mata kuliah gramatika terapan ‚Angewandte Grammatik’, Morphologie, Syntax, dan Semantik. Selama ini masih berjalan masing-masing dan mahasiswa tidak dibiasakan untuk menganalisis, hanya dijejali teori tentang tempus, preposisi, Partizipialattribut, dan lain sebagainya, yang membuat orang jadi bosan. Belum lagi bentuk latihan yang hanya berupa isian atau mengubah bentuk misalnya dari aktif ke pasif, dll. Bahan yang digunakan pun bukan bahan yang bersifat kekinian, misalnya dari artikel koran atau dari roman, melainkan dari buku latihan tata bahasa, yang sering juga sudah sangat out of date. Sistem pengajaran dengan menerapkan bentuk perkuliahan pengamatan partisipatoris ‚beobachtendes Lernen’, di mana dosen dan mahasiswa aktif terlibat bersama memproduksi dan mengoreksi, sehingga masing-masing pihak saling belajar dari pengalaman aktif. Metode ini dilakukan secara individu, kemudian kelompok, selanjutnya bersama dalam kelas, dan cocok diberikan untuk mata kuliah kompetensi membaca dan menulis, misalnya: Aufsatz, Übungen zur Lektüre, Textlinguistik, Übersetzung, Lyrik atau Prosa. Metode lain yang ditawarkan adalah metode bergerak dalam lingkaran ‚Kugellagermethode’, yang mengombinasikan kemampuan individu dan kerjasama kelompok. Metode ini juga memadukan pengalaman belajar dengan bergerak dan meresepsi lewat mendengar dan bicara, sehingga cocok jika dilakukan untuk mata kuliah kompetensi mendengar dan berbicara seperti Konversation dan Diskussion und Präsentation.

Namun tentu saja, sebaik apapun metode pembelajaran yang ditawarkan dan dilakukan tidak akan berhasil jika hanya dilakukan satu arah. Perlu peran aktif dari dosen dan mahasiswanya. Dari hasil diskusi kemarin disepakati bahwa minat baca mahasiswa harus ditingkatkan. Walaupun awalnya mungkin dengan paksaan, diharapkan mahasiswa nanti akan terbiasa membaca dengan sendirinya. Mulai semester ini, mahasiswa di setiap semester wajib membaca 3 buku yang harus „dilaporkan“ isinya secara lisan kepada dosen mereka. Saya rasa, paksaan ini akhirnya akan berlaku juga bagi para dosen untuk membaca. Bagaimana mungkin kami akan menguji mahasiswa pada bacaan mereka, jika kami juga tidak pernah membaca. Dan bagaimana mungkin kami meminta mereka menulis, jika kami juga tidak pernah menulis. Membaca bukan saja bahan kuliah dan  menulis bukan saja untuk kepentingan kenaikan pangkat. Ini satu tamparan lagi. Dan saya rasa, untuk kebaikan bersama, semua memang harus dimulai dari diri sendiri.

Bahasa, Sastra, dan Budaya: Suatu Pendekatan Multidisiplin

Dua hari ini melengkapi kebahagiaan saya. Capeknya mempersiapkan rangkaian acara kuliah umum, diskusi buku, diskusi panel plus menyiapkan makalah (yang tentu saja hasilnya amat sangat jauh dari sempurna) terbayar lunas oleh diskusi panel dengan tema di atas pada dua hari ini. Ini adalah mimpi saya dan teman-teman, yang juga berpayah-payah berusaha menjadikan rangkaian acara ini ada. Mimpi tentang jejaring kerjasama keilmuan. Mimpi tentang universitas yang bukan multifakultas.

Diskusi panel hari pertama, 29 Oktober, mengangkat tema ”Bahasa, Sastra, Budaya, dan Kesehatan”. Empat panelis menjadi pembicara dalam diskusi ini, yaitu Ari Asnani dari Jurusan Kimia Unsoed, Gani A. Jaelani dari Jurusan Sejarah Unpad, Gilang Yubiliana –dokter gigi dari FKG Unpad, dan Dien Fakhri Iqbal dari Fapsi Unpad. Kok bisa orang kimia, dokter gigi, dan psikolog bicara tentang bahasa, sastra, dan budaya di Fakultas Sastra? Bisa saja. Sesi pertama yang dipandu oleh Bima Bayusena, dosen Sastra Inggris Unpad, diawali dengan paparan yang amat sangat menarik dari Ari tentang ”Pengobatan Herba: Modernisasi Falsafah Pengobatan Kuno”. Ari memaparkan tentang tendensi pengobatan di dunia yang kembali ke pengobatan tradisional setelah melewati trend pengobatan modern –yang selalu dikaitkan dengan dokter dan obat-obatan kimia. Uraian sejarah –yang sangat lengkap- tentang sejarah pengobatan di dunia dikemukakan oleh Ari, lengkap contoh-contoh yang sangat dekat dengan keseharian. Gaya lembut Ari yang sangat njawani tidak mengurangi tegasnya kritik terhadap sulitnya mendapatkan naskah-naskah kuno juga naskah yang sudah ditransliterasi. Padahal naskah-naskah kuno, terutama yang berisi tentang pengobatan dan obat-obatan tradisional, sangat diperlukan oleh para ahli biokimia sepertinya untuk penelitian dan pengembangan obat-obatan dan pengobatan alternatif. Bukan untuk menyaingi pengobatan dan obat-obatan modern, namun menjadi ”alternatif” bagi siapapun yang memerlukannya. Tugas orang sejarah dan orang-orang dari Fakultas Sastra untuk mencari dan menelitinya. Selanjutnya dilanjutkan oleh teman-teman peneliti dari jurusan lain, di antaranya biokimia, seperti Ari. Sayangnya, tradisi titen di Indonesia yang lisan, menyulitkan orang menemukan bukti tertulis yang bisa dijadikan acuan. Jikapun naskah-naskah itu ada, kebanyakan sudah dalam keadaan sangat rusak, atau dijadikan benda pusaka yang hanya bisa dibuka di hari-hari dan jam tertentu, bahkan sering diperciki air atau minyak sehingga naskah itu rusak.

Paparan Ari dilanjutkan dengan paparan Gani yang melihat isu kesehatan sebagai alat kolonialisme di Hindia. Pada saat itulah, pengobatan modern dari Eropa masuk ke Hindia. Segala sesuatu yang berbau tradisional adalah buruk, terbelakang, dan primitif. Pengobatan yang baik adalah pengobatan dari Eropa, karena identik dengan kebersihan dan higienitas. Padahal, jaman penjajahan Belanda, dokter menempati strata sosial yang rendah. Tidak ada orang Belanda yang mau jadi dokter di Hindia, karena harus berhubungan dengan segala rupa penyakit ”kotor” para pribumi. Dengan demikian Belanda bisa melancarkan proses kolonialisasinya di Hindia dengan cara menjadikan rakyat pribumi sebagai kelinci percobaan untuk menemukan obat. Dengan dokter-dokter yang dikontrol oleh Belanda pula ditentukan hidup mati, sehat sakitnya seseorang. Namun, rupanya Belanda lupa, ada banyak dokter yang tidak bisa termakan oleh praktek pecah belah ini, sehingga mereka menjadi embrio meretasnya kebangkitan nasional Indonesia. Gani juga mengkritik fenomena bergesernya strata dokter di Indonesia, sehingga eksklusifitas sangat terasa. Hal ini memungkinkan arogansi yang terbangun dan kejumawaan dokter sebagai penentu sakit sehat, hidup matinya seseorang. Akibatnya, malpraktek sangat sering terjadi di sini, juga biaya kesehatan yang sangat tinggi. Orang miskin hanya bisa pergi ke dukun dan praktisi pengobatan tradisional lain yang sering juga tak terjamin mutu dan kebersihannya.

Pada sesi ke dua, Gilang tak menampik adanya eksklusifitas itu. Walaupun ini tentu saja terjadi juga di jurusan-jurusan dan fakultas-fakultas lainnya. Eksklusifitas ini mungkin menjadi salah satu penyebab terjadinya komunikasi yang tidak efektif dan komunikatif antara dokter dan pasien. Akibat dari kurang lancarnya proses komunikasi ini, maka proses pengobatan pun tidak akan efektif. Waktu konsultasi yang sempit karena jumlah pasien yang banyak, relasi kuasa yang tidak setara sehingga memunculkan stereotype bahwa dokter adalah yang paling tahu, membuat proses komunikasi pengobatan antara dokter dan pasien tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Kecerdasan sosial yang ditandai dengan kecerdasan berbahasa dan berkomunikasi, sayangnya masih belum dimiliki oleh banyak dokter. Kepekaan terhadap perbedaan bahasa dan budaya dituntut dimiliki oleh setiap dokter, karena dia semestinya adalah pelayan bagi si sakit. Tanda-tanda nonverbal seperti gestik, mimik, dan benda-benda yang ada di ruang praktik dokter turut andil dalam menciptakan jarak antara dokter dan pasien. Meja yang sebatas dada misalnya, membuat jarak sosial menjadi lebih kentara, demikian juga dengan ruang praktik yang serba putih dan dengan furnitur yang kaku. Akibatnya, tak sedikit orang yang ciut jika harus ke dokter, apalagi dihantui dengan mahalnya biaya pengobatan dan obatnya. Untuk itu, penting sekali adanya kerja sama dengan para linguis dan ahli budaya untuk mengatasi hal ini, karena walau bagaimana pun ujung tombaknya adalah bahasa.

Iqbal menutup diskusi panel hari pertama ini dengan mengangkat isu kembali ke dalam diri. Diri kita sendiri yang menentukan kita mau sehat atau sakit. Imbasnya akan terasa pada cara kita merasa, berpikir, dan berperilaku. Self-awareness menjadi point yang penting. Ditawarkan beragam cara untuk mengenali diri sehingga kita bisa merdeka untuk menjalani hidup. Bahasa memang tidak akan pernah bisa mengungkap segala pikir dan rasa, tetapi hanya bahasa yang kita punya.

Diskusi pun berjalan hangat dan menarik, masih pula dilanjutkan setelah acara selesai. Jalinan kerjasama penelitian sudah ditenun.

Tema hari kedua adalah ”Bahasa, Sastra, Budaya, dan Teknologi”. Lebih tepatnya lagi mungkin Bahasa dan Teknologi, Teknologi Bahasa, karena kali ini lebih kental unsur bahasanya dibandingkan dengan bahasan diskusi panel hari sebelumnya. Kami mengundang Pak Arry Akhmad Arman dari ITB, Pak Andri Abdurrochman dari Jurusan Fisika Unpad. Dari Sastra ada Ibu Nani Sunarni, dosen Jurusan Jepang. Saya sendiri terlibat kerjasama dengan Bu Nani, sehingga kami memaparkan bersama hasil penelitian kami.

Pak Arry dengan sangat menarik memaparkan tentang perkembangan teknologi bahasa di Indonesia dan pentingnya kolaborasi dengan para peneliti bahasa. Dimulai dengan makin sempitnya dunia dan mudahnya hidup dengan bantuan teknologi, dilanjutkan dengan paparan yang menarik dan interaktif tentang teknologi text to speech dan translator yang dikembangkannya. Beberapa kemungkinan pengembangan dan penggunaan teknologi termasuk untuk membantu teman-teman tuna netra, tuna wicara, dan tuna rungu dalam berkomunikasi. Disertasi Pak Arry tentang pemodelan intonasi dalam Bahasa Indonesia menjadi modal awal untuk kerjasama membuat database suara vokal dan konsonan Indonesia (dengan petutur dari beragam latar belakang budaya di Indonesia). Indonesia adalah lahan ilmu yang kaya, yang masih sangat dalam untuk diteliti. Kerjasama dengan linguis dan pakar bahasa Indonesia tentu penting dilakukan. Namun, bukan berarti hal ini tidak pernah dijajaki. Yang terjadi pada akhirnya hanya sampai sebatas wacana, sementara negara lain sudah maju melaju di depan. Mimpi saya sebagai peminat analisis percakapan adalah adanya alat speech to text yang bisa otomatis mentranskripsikan percakapan. Bukan tak mungkin alat ini diwujudkan.

Selanjutnya Pak Andri membawakan tema emosi dalam intonasi dari beberapa pemodelan. Menarik untuk dicermati emosi-emosi yang muncul dari intonasi yang diujarkan para pelaku komunikasi. Bekerja sama dengan Iqbal dari Fakultas Psikologi diadakan triangulasi untuk keadaan emosi yang muncul dari intonasi yang sudah diukur dengan menggunakan salah satu software khusus. Software ini yang sedang dikembangkan oleh teman-teman dari Jurusan Fisika. Mereka membutuhkan orang bahasa –dan sekali lagi data base suara- untuk melihatnya dari segi satuan lingual dan aturan tata bahasa.

Bu Nani dan saya membahas tema intonasi sebagai penentu sikap. Kajian tak lepas dari kajian pragmatik untuk melihat tindak tutur dan sikap para pelaku komunikasi dari satuan lingualnya juga dari satuan nonlingual. Intonasi masuk ke dalam satuan paralinguistik, disertai dengan tanda-tanda nonverbal lain sebagai penunjang tuturan. Dengan bantuan software Praat, kami bisa mengukurnya pula secara fisis. Masukan dan tambahan berharga kami dapatkan dari Pak Arry dan Pak Andri untuk kelanjutan penelitian ini.

Acara yang dihadiri kebanyakan oleh mahasiswa ini, bagi saya menambah banyak pencerahan. Sayangnya memang -seperti biasa- sangat sedikit dosen yang hadir, tetapi teman-teman dan saya tidak mau menyurutkan langkah. Kami hanya mau melangkah, dengan mereka yang juga mau melangkah. Langkah itu sudah dimulai, walaupun kecil saja. Rasanya kemungkinan perkuliahan dan pembimbingan mahasiswa lintasfakultas sudah harus bisa diwujudkan. Pun dengan proyek besar pembuatan data base suara bahasa Indonesia insha Allah akan segera kami mulai. Demikian pula dengan kajian naskah-naskah kuno dan pelatihan komunikasi terapeutik, rasanya tidak bisa menunggu lagi. Kami harus bergerak. Melakukan hal kecil yang kami bisa lakukan dengan baik dan menjalin tali kerjasama yang erat. Saling mendukung. Harapan saya membuncah seiring dengan kebahagiaan yang memuncak.

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah meluangkan waktu dan tenaganya untuk berbagi di dua hari yang mencerahkan. Insha Allah hal ini tidak akan berhenti sampai di sini dan semoga tidak hanya menjadi wacana yang lambat laun hilang seiring bergantinya hari.

Nesia yang Indo: Belegug Pisan

Ungkapan cenderung kasar dalam Bahasa Sunda ini (tetapi juga bisa menjadi „pengakrab“ dalam situasi informal) menjadi bagian dari judul makalah Remy Sylado untuk kuliah umum tanggal 27 Oktober lalu. Judul lengkapnya: „Ilmu Bahasa, Sastra, Budaya di Balik Kacamata Belegug Pisan“. Seniman satu ini memang benar-benar mbeling. Judul yang terbaca dan terdengar slengean dikontraskan dengan isi makalah dan kuliah umum yang bernas dan mencerahkan.

Remy –seperti terlihat dari makalahnya yang masih selalu diketik dengan mesin tik biasa- seperti biasa menilik masalah bahasa, sastra, dan budaya awalnya dari sisi etimologis untuk kemudian dikaitkan dengan situasi nyata di masyarakat. Satu nusa (dari kata ‚nuswa’) , satu bangsa (dari kata ‚wamsa’), satu bahasa (‚bhasa’) secara kesejarahan dan dalam perkembangannya tidak pernah benar-benar satu. Mungkin bisa dikatakan bahwa kita punya satu ‚nuswa’: Indonesia. Nesia yang Indo. Mungkin bisa juga dikatakan bahwa kita juga adalah satu ‚whamsa’. Tapi satu ‚bhasa’? Belum tentu. Merujuk bukunya 9 dari 10 kata dalam Bahasa Indonesia adalah Asing dan Bahasa Menunjukkan Bangsa, betapa kita bisa berkata bahwa Bahasa Indonesia tidak bisa diklaim sebagai satu bahasa, melainkan bahasa dengan banyak percampuran di dalamnya. Pun percampuran budaya.

Bersentuhan awal dengan Sansekerta sehubungan dengan jalinan perlintasan Hindu dan Buddha, kemudian dengan Islam dengan bahasa Arab, ilmu bahasa di Nesia yang Indo ini boleh dikatakan tidak cukup kuat berdenyut saat Barat „menurunkan“ ilmunya. Ilmu Bahasa dari Barat yang berakar kuat pada filologi dan ’technike grammatike’-nya Yunani menjadi pegangan orang Belanda untuk melepaskan benang merah sejarah dengan bahasa Sansekerta. Aturan tata bahasa yang ketat menjadi acuan „Bahasa Indonesia yang baik dan benar“ saat ini. Aturan tata bahasa ini pula yang diajarkan di sekolah-sekolah, sehingga mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang amat sangat tidak menarik. Hasilnya? Bahasa Indonesia saat digunakan tetap saja tidak pernah menjadi „baik dan benar“.

Namun, perlukah bahasa yang „baik dan benar“ saat bahasa digunakan dalam proses komunikasi? Bahasa sebagai parolè, bukan langue. Perlukah kita berbahasa Indonesia “yang baik dan benar”, sehingga komunikasi “bisa agak terganggu” dan membuat orang mengerutkan kening? Jawabannya: terserah Anda. Klaim ini yang benar, itu salah, menurut hemat saya bisa menyesatkan, karena bisa menjebak kita pada praanggapan, yang belum tentu benar -dan belum tentu salah juga-. Remy mengemukakan ide penggunaan bahasa yang bernas dan indah. Tepat konteks: waktu, tempat, dan sasaran.

Gejala yang menarik –sekaligus juga menyedihkan- adalah penggunaan bahasa yang centang perenang dengan logika bahasa yang tak terperhatikan (atau tidak diperhatikan?!). Penggunaan bahasa asing yang tidak tepat demi mengatasnamakan gengsi dan kekerenan, membuat bahasa Indonesia –alih-alih bahasa daerah – lambat laun, pelahan tapi pasti semakin halai balai. Perlukah menyalahkan generasi muda yang –katanya- menjadi pengusung “kekacauan bahasa” di Indonesia? Tidak juga. Menurut saya, semua bidang punya andil. Semua orang dan sistem menjadi pelaku. Semua pihak mendukung kekacauan ini.

Lalu, apakah kita juga harus dan bisa mengabaikan arus masuknya bahasa dan budaya lain yang semakin besar? Saya rasa tidak. Saya bersetuju pada penggunaan bahasa yang bernas dan indah itu. Bukan baik dan benar. Bernas sehingga mudah dipahami, tetapi tetap indah, sehingga tak bikin sakit hati. Saya pun bersetuju pada penggunaan bahasa yang tepat konteks dan sasaran. Bukan hal yang mudah, menurut saya ini adalah kecerdasan tingkat tinggi. Kecerdasan berbahasa. Jadi bagaimana? Tentu tidak (bisa) menutup diri dari bahasa dan budaya asing yang menggempur. Terima, tapi lakukan dengan benar. Caranya? Jadi diri sendiri, tetapi tidak kurung batokeun.

Begitu sekilas diskusi menyusul kuliah umum yang berjalan dengan indah, hangat dan penuh semangat  pencerahan. Keberagaman tetap dijaga, tanpa merecah kebersamaan. Minimal kita masih satu nuswa dan satu wamsa. Walaupun mungkin wajar jika kemudian muncul pertanyaan, Indonesia yang mana? Bangsa Indonesia yang mana? Bahasa Indonesia yang mana? Tentu bukan Indonesia yang bangga dengan penyakit bangga jika bisa berbangga dengan segala hal yang berbau luar Indonesia. Mungkin seperti Nesia yang Indo-nya para pesohor di TV, yang dibuat untuk membuat orang membuat dirinya menjadi Nesia Indo yang tidak Indonesia. Lho, kan namanya juga Indo. So what gitu loh. Plis dong ah. Nah, kata Remy (bukan kata saya), hal itu adalah belegug pisan.

Bandung, 28 Oktober 2008

Post Scriptum: Kuliah umum berikutnya, 3 November 2008, dari Ignas Kleden: Kontribusi Bahasa, Sastra, dan Budaya terhadap Perubahan Sosial Budaya“.

Bahasa, Sastra, Budaya, dan Identitas Diri

Identitas diri yang mana? Apa kaitannya dengan bahasa, sastra, dan budaya? Apakah ada pengaruh bahasa, sastra, dan budaya terhadap ”penciptaan” identitas diri? Apakah identitas yang dimaksud adalah yang tercantum dalam formulir-formulir saat harus dituliskan: bahasa ibu, nasionalitas/suku bangsa? Terus terang jika ”hanya” itu saya bingung menjawabnya, karena saya berbahasa ibu bahasa Sunda (Sunda yang mana?) dan bahasa Indonesia (Indonesia yang mana?), plus bahasa Jerman yang sudah ”merasuki” alam bawah sadar pikiran dan perasaan saya. Bahasa Jerman jadi bahasa ibu? Sok betul. Saya bukan orang Jerman, saya orang Indonesia dengan separuh darah Sunda dan Jawa Tengah. Jadi, apa hubungannya? Saya orang Indonesia yang ”pernah” cukup intens menggemari sastra dan budaya Sunda, menolak berbahasa Jawa tetapi ”pernah” cukup gemulai menari Jawa, kemudian belajar bahasa Inggris dan lebih intensif lagi belajar dan mengajar bahasa, sastra dan budaya Jerman. Pernah hidup cukup lama di ruang dan waktu sebuah tanah orang-orang Teutsch. Saya adalah orang Indonesia yang beruntung bisa menelusuri Zeitgeist dan elan vital orang-orang dan pemikir-pemikir dari sumber dan bahasa pertamanya. Merasakan Stimmung pemikiran dan semangat mereka secara langsung. Bekerja di lingkungan yang Sunda, tetapi mengajarkan bahasa bukan Sunda, melainkan bahasa milik orang-orang Teutsch tadi. Menaruh minat besar pada linguistik, namun tak bisa melepaskan diri dari sastra. Dan saya adalah orang Islam, dengan segala kekurangannya. Islam yang setengah Sunda, setengah Jawa, Indonesia, yang berbahasa Arab pasif saja, bersentuhan dengan ”Barat” tetapi tetap berpikir dan merasa ”Timur” (jika ”Barat” dan ”Timur” diasumsikan ada). Berada di ”Timur”, tetapi tak lepas dari logika ”Barat”. Kalau begitu, identitas yang mana? Rasanya kok kacau balau.

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin tidak hanya ”menghinggapi” dan menggelisahkan saya. Ternyata saya tidak sendirian, beruntung. Banyak teman yang juga gelisah –terutama di tempat saya bekerja-. Ada banyak sekali hal yang menjadi pemikiran kami saat kami berhadapan dengan situasi kerja, dengan mahasiswa, dan situasi hidup yang rasanya kok begitu ya? Ada yang tidak sreg. Mengapa bahasa, sastra, dan budaya ”terpinggirkan” di era ”katanya” globalisasi ini? Apakah bahasa, sastra, dan budaya ini hanya sebatas aura tak tersentuh? Berjarak dengan tubuh fisikal yang ditempeli identitas seragam, lencana, ijazah, peci, kerudung, jam tangan, baju, dan seterusnya masih panjang lagi. Lalu bagaimana kesejarahan tubuh yang penuh tempelan itu ada? Apakah berjarak juga dengan “sejarah” tubuh itu sendiri? Tubuh yang berbahasa, bersastra, dan berbudaya? Apakah bisa lepas dari itu semua? Mengapa masih ada minderheitwertig, saat harus mengisi kolom: fakultas sastra. Mahasiswa sastra. Terus terang, saya juga dulu merasakan hal yang sama. Fakultas Sastra cuma jadi pilihan kedua, karena saya tidak suka ilmu hukum dan ekonomi. Itu saja alasannya. Ketika pada akhirnya saya selalu jatuh cinta pada bahasa, sastra, dan budaya, itu adalah satu proses panjang yang membuat saya jatuh bangun.

Kegelisahan kami diakomodasi (atau dikerjai atau kami yang memaksa – apapun itu) oleh pimpinan Fakultas, sehingga kami akhirnya bisa mengundang Yudi Latif dari Reform Institute untuk bicara pada kuliah umum kemarin. Tema yang diusung adalah ”Kontribusi Bahasa, Sastra, Budaya terhadap Penciptaan Indentitas Diri”. Menarik sekali mengikuti kuliah di bulan Ramadhan yang penuh cahaya terang ini. Yudi Latif tidak hanya bicara tentang bahasa dan sastra sebagai ”ibu pengetahuan”, tetapi dia pun menyinggung soal sejarah peradaban dan kebangkitan bangsa-bangsa besar di dunia yang berawal dari bahasa dan sastra. Indonesia pun ”pernah” menjadi bangsa yang sangat besar dan penting dalam percaturan bangsa-bangsa dunia, sampai akhirnya budaya materialisme mendominasi kehidupan. Sampai ketika bahasa, sastra, dan budaya disejarahkan. Sampai ketika identitas keberagaman bangsa Indonesia diseragamkan pada beberapa babakan sejarah, dan masih berlangsung sampai sekarang. Tak ada diri dengan kerumitan identitas yang justru membuatnya jadi khas, yang ada hanya orang-orang dengan cara berpikir dan bertindak seragam. Yudi Latif membahasnya dengan lugas dan tajam, pun memberikan solusi-solusi yang bersifat teknis dan praktis ketika ada pertanyaan: apa yang bisa diberikan oleh Fakultas Sastra yang ”abstrak” terhadap peradaban dunia yang semakin bersifat teknis dan pragmatis. Ternyata banyak sekali.

Contoh yang diberikan Yudi Latif adalah pemikir-pemikir besar dunia, termasuk di antaranya Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka. Mereka berbahasa, mereka bersastra, dengan itu mereka menciptakan ”budaya” dan ”alam berpikir” untuk merdeka. Untuk sebuah kemerdekaan dan kebangkitan. Tidak hanya diri mereka, tetapi juga bangsa yang sudah amat sangat lama dijajah oleh ”pikiran” bangsa lain yang lebih kuat bahasa, sastra, dan budayanya. Dan ketika bangsa ini sedikit demi sedikit menghilangkan peran penting bahasa, sastra, dan ”akar” budaya-nya, pelahan tapi pasti bangsa yang sempat besar ini menuju kehancurannya.

Di mana peran Fakultas Sastra -yang sebentar lagi akan berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya seperti di universitas-universitas lain di Indonesia? „Idealnya“ di garda depan. Kembali kepada kata. Kepada puisi. Kepada sejarah. Agar tidak jatuh untuk kesekian kalinya. Issue terpenting lainnya adalah kurikulum yang sudah harus -mau tidak mau- diubah. Bukan yang mengikuti pasar dalam arti ikut arus ke mana si pasar itu menderas. Namun, kurikulum yang punya ciri dan identitas yang jelas. Kami mau jadi apa? Kami ingin ke mana? Karena kami adalah universitas. Universal. Bukan multifakultas yang tersebar tak saling kenal dan sapa pada lautan ilmu yang seharusnya jadi samudera yang indah.

Ini tugas kami semua, untuk fakultas dan ilmu yang kami cintai dengan segala carut marut dan tambal sulamnya. Dan ini adalah awal untuk langkah yang masih sangat panjang ke depan.

Tertulis di situ: „Pada mulanya adalah kata!“. Sejenak aku berhenti cemas! Siapa dapat membantuku meneruskannya? Aku menilai kata tak sedemikian tinggi. Betapapun aku harus menerjemahkannya, jika benar aku dibimbing jiwa. Tertulis di situ: Pada mulanya adalah tujuan. Pikirkan benar-benar, karena itulah kalimat pertama, agar penamu tidak terlalu tergesa! Apakah segalanya dipengaruhi dan dicipta oleh tujuan?. Seharusnya tertulis: Pada mulanya adalah kekuasaan! Namun, selagi aku menuliskannya, sesuatu memperingatkanku agar tak berhenti di situ. Ruh itu membantuku! Sekaligus aku mendapat tuntutan untuk menulis dengan lega: Pada mulanya adalah perbuatan! – (Goethe „Faust“, terjemahan Agam Wispi)

Bandung, 110908

Tulisanmenjelangmatahariyangterpaksaterhenti.

Post Scriptum: Kuliah umum berikutnya oleh Remy Sylado, yang akan mengusung tema: ”Kontribusi Bahasa, Sastra, Budaya, dan Identitas Bangsa”.

Metode TASC

Kebutuhan pemelajar bahasa untuk berbicara, berargumentasi, dan berkomunikasi secara persuasif dalam beragam situasi dengan menggunakan bahasa kedua, sejak awal perlu disiasati sebagai bagian dari proses belajar. Metode Thinking Activelly in Social Context (TASC) yang dikemukakan oleh Wallace dan Adams (1990) adalah salah satu metode pembelajaran yang berorientasi problem solving dengan area capaian attitudinal and motivational factors, metacognition, using gathered information to identify and solve problems, communicating with co-learners and communicating the outcome, dan learning from experience.

Metode ini juga menekankan pencapaian tujuan belajar pada hasrat, minat, dan regulasi diri; pada sikap dan pola pikir yang reflektif dan produktif; pada pemahaman dan penalaran atas satu tema atau masalah; juga pada proses pengumpulan informasi yang tidak hanya berasal dari satu sumber, tetapi dari banyak sumber, termasuk dari pengamatan dan pengalaman si pembelajar sendiri. Dengan demikian, diharapkan para pembelajar dapat mengembangkan sikap percaya diri sehingga termotivasi untuk berbicara, berargumentasi, dan berkomunikasi secara persuasif.

Bekerja sama dengan Iqbal, dari Fakultas Psikologi Unpad, metode ini diterapkan di mata kuliah ”Diskussion und Präsentation” pada semester genap lalu. Tujuan mata kuliah ini jelas untuk membangun kemampuan berbahasa pembelajar saat berbicara, berdiskusi, berargumentasi, dan –lebih luas lagi- untuk berkomunikasi secara persuasif dalam beragam situasi. Iqbal memodifikasi metode TASC ini dengan menambahkan issue body awareness, body imagery, body metaphor dan body correction.

Tahapan pertama yang dilakukan adalah dengan memberikan tema tentang mimik. Sejumlah gambar, saling ”memeriksa” wajah rekan juga wajah sendiri (dilakukan rekaman video yang kemudian dibahas bersama), menjadi bahan diskusi. Kemudian dilanjutkan dengan membahas film animasi pendek yang sarat dengan ungkapan beragam ekspresi. Pada pertemuan berikutnya diberikan materi tentang beragam ungkapan verbal yang dapat dijadikan alternatif untuk membuat bahasa yang digunakan menjadi lebih persuasif. Tahap selanjutnya adalah pemberian materi dan pelatihan tentang body imagery, body metaphor dan body correction. Pembelajar diminta untuk menggambarkan diri mereka melalui gambar yang mereka buat, kemudian lewat percakapan imaginer tentang tokoh atau simbol yang ada dalam gambar mereka. Setelah pelatihan body correction, materi tentang unsur-unsur verbal bahasa dikombinasikan dengan unsur-unsur nonverbal seperti mimik, gestik, dan prosodi dalam debat dengan tema yang akrab dengan kehidupan mereka, yaitu: pro dan kontra tentang “anak mama.” Tahapan itu diakhiri dengan melihat dan mengevaluasi kegiatan mereka dengan cara melihat gambar dan film tentang kegiatan yang dilakukan hari itu. Tahapan terakhir adalah evaluasi dengan mengisi kuesioner yang sudah dipersiapkan.

Latihan berdebat sebagai salah satu cara untuk melihat pencapaian pembelajar dalam berkomunikasi secara persuasif, menjadi sarana yang saya rasa cukup tepat untuk menerapkan metode TASC ini. Masalah yang diambil untuk “dipecahkan” adalah “masalah anak mama”. Dalam debat itu terlihat bahwa pembelajar termotivasi untuk berinteraksi aktif dengan lingkungannya saat itu dengan cara menyampaikan pendapatnya –apapun itu-. Dengan pemberian informasi dan pelatihan tentang faktor-faktor nonverbal yang menunjang faktor verbal saat berkomunikasi, mereka pun terlihat bisa menghindari reaksi-reaksi impusif yang mungkin bisa mengaburkan tujuan utama saat proses penyampaian pendapat. Reaksi semacam ini tentu saja tidak bisa dihindari seratus persen, tetapi bisa diminimalisir. Pembelajar pun belajar untuk mengenali kebutuhan menerangkan sesuatu dengan sistematis, akurat, dan detil dengan cara membuat perbandingan, menyimpulkan pengalaman, merencanakan, tetapi tetap fleksibel dalam mendekati masalah sehingga bisa melihat masalah dari beragam sudut pandang. Debat ini juga melatih mereka untuk bersedia bekerja secara kooperatif atau bahkan secara mandiri, tergantung pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan.

Dalam debat, pembelajar berlatih untuk peka terhadap ketidaksesuaian, ketidaklengkapan dalam suatu masalah, sehingga untuk mencari penyelesaiannya mereka belajar menyeleksi faktor-faktor pembentuk masalah, juga menyeleksi cara penyelesaian masalah yang beragam muncul dari banyak kepala. Mereka pun dilatih untuk peka terhadap komentar dan umpan balik. Dengan kata lain, mereka melakukan ”laku kritik” terhadap tindakan dan ucapan mereka. Selain itu, mereka pun belajar untuk mengenal kekuatan dan kelemahan mereka (secara verbal dan nonverbal), belajar menyeimbangkan cara berpikir dan bertindak kritis, analitis, dan kreatif. Hal itu terlihat dari contoh-contoh dan argumentasi yang mereka gunakan saat berdebat. Sehingga, mereka tetap ada dalam ”masalah dan pemecahannya”, tidak merambat ke area lain yang kadang membuat masalah utama menjadi kabur, sehingga pemecahannya pun sulit dicari.

Tujuan yang diinginkan –dan yang diidealkan oleh metode TASC ini- tidak begitu saja dicapai. Hal ini tentu saja harus dilakukan bertahap. Saya melakukannya satu semester penuh. Memadukan metode ini dengan issue body awareness serta contemplative learning, menurut saya bisa menjadi kombinasi yang tepat untuk mencapai tujuan dari pembelajaran bahasa –terutama pembelajaran bahasa asing-, di mana bahasa tidak lagi hanya sebagai satu sistem tanda, tetapi harus difungsikan, salah satunya adalah untuk berkomunikasi. Jadi, pembelajar tidak hanya tahu tentang sistem gramatika bahasa asing yang dipelajarinya, mereka pun mampu menerapkannya dalam beragam situasi komunikasi.

Hasi dari kombinasi pembelajaran dengan metode ini terlihat dalam mata kuliah-mata kuliah lain yang saya asuh, dalam kelompok diskusi yang dilakukan selama liburan ini, dalam makalah-makalah yang mereka tulis sebagai tugas akhir, dan hasil yang tak kalah menggembirakan adalah dengan dipilihnya salah seorang mahasiswi dalam mata kuliah tersebut sebagai mahasiswi berprestasi. Penilaian tertinggi untuknya terletak pada kemampuannya bersikap dan berkomunikasi dengan cerdas, tepat, taktis, namun tetap santun. Pada akhirnya memang tidak pernah ada yang sia-sia dari kesabaran dan dari pekerjaan yang dilakukan dengan cinta.