Saya ingin bercerita tentang seorang manusia yang sering tidur setelah fajar. Dia yang saya kenal 30 tahun lalu, saat dini hari menelusuri hutan di Bandung selatan. Dia yang memberikan jaketnya pada saya dan memegang tangan saya, sambil tangan yang satunya memegang senter menelusuri jalan yang gelap. Sesekali kami terpeleset atau tersangkut akar, atau disuruh push up oleh kakak angkatan.
Di kelas dia selalu duduk di pojok belakang. Tidak pernah bicara jika tidak ditanya. Kami juga jarang berbincang, karena dia juga sering menghilang. Sesekali saja kami berjumpa, kalau ada buka bersama misalnya. Itu pun kalau dia tidak lupa diajak. Berjumpa pun ngobrol seadanya. Dia dengan teman-temannya, saya dengan teman-teman saya. Kalau beruntung bisa menemukan dia di kamar kostnya. Sibuk seperti biasa dengan rokok dan komputernya yang saat itu masih jadi barang mewah, atau sedang main gitar. Jalurnya memang beda, apalagi setelah dia punya pacar. Eh, tapi yang terjadi malah pacarnya yang lebih dekat dengan kami, teman-temannya, karena dia selalu menghilang entah ke mana atau sibuk di depan komputernya, sambil sesekali main gitar. Pacarnya ditinggalkan saja. Untung pacarnya sabar.
Keluarganya punya rumah yang luas di daerah Bandung utara. Kadang sahabatnya dititipi kunci dan diminta menjaganya. Lalu kami pun diajak datang berkunjung ke rumah itu, saat sahabat kami pulang dari Palembang atau saat panen alpukat. Kami masak-masak dan makan bersama. Di mana dia, yang punya rumah? Tentu dia entah di mana.
Saya lupa bagaimana akhirnya kami bisa dekat dan ngobrol banyak. Mungkin setelah saya pulang dari Jerman, tahun sembilan delapan. Entah lah, lupa. Yang jelas kami jadi lebih sering berbincang. Saya yang sedari awal tahu bahwa dia adalah manusia yang rumit dengan segala isi kepalanya yang membludak, semakin sadar bahwa dia memang lebih rumit daripada yang saya pikirkan di awal. Sangat cerdas, pintar, idealis, jenius yang keras kepala, tapi juga sangat peduli, loyal, dan punya integritas. Dia yang sibuk dengan pikiran dan ide-ide juga mimpi-mimpi yang melewati batas belasan bahkan puluhan tahun ke depan. Banyak orang yang tidak mengerti jalan pikiran dan omongannya. Saya termasuk dari sedikit orang yang bisa tahan berlama-lama ngobrol dengannya. Sebenarnya entah apa yang kami obrolkan berjam-jam, yang seringnya berujung dengan „Udah ah, dengerin elu gue jadi sakit kepala”. Itu kata saya dan dia selalu tertawa ngakak, berujung dengan memberikan video-video permainan gitar dan piano dari entah siapa saja.
Jika dia punya ide, yang memenuhi lagi gudang ide di kepalanya, dia segera menghubungi saya, tapi saya kadang tidak bisa mengikutinya, juga tidak bisa membantu mewujudkannya, karena saya punya prioritas yang beda, misalnya. Di situ biasanya kami berdebat dan bersepakat untuk tidak sepakat. Dan itu tidak apa-apa. Sering juga saya bilang: „ah, elu sih suka hangat-hangat tai ayam. Ngga fokus. Fokus dong. Kerjain satu dulu, pelan-pelan.“ Kadang kalau sadar dia iyakan, tapi yang sering terjadi adalah ide dan pikirannya berloncatan lebih dahsyat dari raga yang mewadahinya, sehingga memegangnya saja dia tidak bisa. Akhirnya menguap hanya sampai di tataran ide saja. Tapi itulah dia. Dan itu tidak apa-apa.
Dia sangat perfeksionis dan sering terkesan arogan. Padahal sebenarnya tidak. Dia punya banyak ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran yang dia sembunyikan di balik sikapnya yang suka-suka dan terlihat kuat. Hanya orang-orang yang dekat dengannya yang memahaminya.
Kesukaan dan kecintaannya pada komputer dan teknologi informasi disertai ide-ide yang melompati waktu dan ketekunannya membaca, membuat dia sulit diikuti oleh banyak orang. Dia sudah mengulik program komputer di saat orang masih menggunakan mesin ketik manual. Dia sudah membuat program buku wajah sederhana, jauh sebelum Facebook ada. Perbincangan kami berjam-jam menjadikan dia membuat program pencari kerja, jauh sebelum Gojek ada. Istrinya pun dibuatkan aplikasi tempat penjualan kerajinan tangan miliknya, jauh sebelum Tokopedia ada. Itu semua dia pelajari otodidak, sama seperti saat dia bermain gitar. Tahu-tahu semua lagu bisa saja dia mainkan. Padahal konon kursus gitar saja tidak.
Katanya dia menyesal dulu tidak serius kuliah dan sering membuat masalah dengan dosen-dosennya. Padahal mereka itu adalah guru-gurunya. Dia selalu bilang bahwa guru adalah orang tua keduanya. Padanya ada perpanjangan ilmu dari Tuhan. Ya, kami sering berbincang tentang agama dan spiritualitas. Tidak hanya berbincang, tapi juga berdebat. Sekali lagi, kami sering sepakat untuk tidak sepakat. Dan itu tentu tidak apa-apa. Besoknya tetap saja kami berbincang lagi, berdebat lagi, berjam-jam, sebelum dia tidur setelah fajar.
Penyesalan sekaligus juga kecintaannya itu membuat dia jadi sangat peduli pada kami dan mahasiswa di Jurusan. Di saat semua orang belum memikirkan pentingnya website Jurusan, dia sudah membantu kami membuat dan dengan telaten mengurusnya. Dia juga datang berkunjung membawa pepes ikan mas, menjadi narasumber bagi kami ibu-ibu yang terbata-bata mengeja program. Dia sangat bangga, karena akhirnya dia bisa bermanfaat dan memberikan sesuatu untuk kami di Jurusan. Dia memang orang yang tidak pelit dengan ilmu yang dimilikinya.
Dia adalah nomor darurat saya, yang selalu saya hubungi kalau saya ada masalah dengan komputer, internet, atau program-program asing yang harus saya kuasai dengan cepat. Dia akan dengan sangat sabar dan detil memandu saya yang tidak sabaran dan cepat putus asa, tentu dengan disertai ejekan-ejekan pada saya. Saya tidak peduli, yang penting masalah kelar. Dia juga yang membuat saya punya blog pribadi dan punya gawai pintar. “Alesan. Lu kan penakut. Senangnya ngumpet di kamar. Padahal lu bisa banyak”, itu katanya, saat saya memberikan alasan macam-macam, kenapa saya tidak mau punya blog dan gawai pintar.
Padahal dia juga sama saja. Lagi-lagi dia menghilang, saat istri yang sangat disayanginya sakit keras. Kalau sudah begitu, dia juga seperti sedang masuk gua. Dia mencurahkan segenap hati, pikiran, tubuh, waktu, dan hidupnya untuk Aya, istrinya. Ya, tidak banyak yang tahu bahwa dia adalah orang yang sangat keras hati, setia, penyayang, dan penuh perhatian.
Dan saat lebaran Mei kemarin, setelah sekian lama, tiba-tiba dia datang, saat saya dan dua sahabat berjumpa. Kemarin saya baru tahu, bahwa saat itu dia sedang tidak enak badan, tapi dia menyengajakan diri datang hanya untuk memarahi saya. Ya, dia sengaja datang hanya untuk memarahi saya karena urusan kesehatan saya. Lalu dengan bangga dia bagikan video pertemuan kami di laman Facebooknya. Siapa menduga bahwa itu adalah pertemuan terakhir saya dan dia. Siapa menyangka, bahwa itu juga marahnya dia yang terakhir pada saya.
Perjalanan hidup memang tidak terduga. Tidak ada yang tahu jalan apa yang akan dilalui kita. Sering kita tiba-tiba dijungkirbalikkan begitu cepat dan dahsyat. Seperti saat kabar itu datang di tengah-tengah saya sedang rapat. Terkejut luar biasa, sampai sekujur tubuh lemas, dan saya bingung harus bagaimana dan merasa apa. Tidak pernah ada yang benar-benar siap dalam menyikapi kepergian seseorang.
Kemarin saya bertemu Aya, istri yang sangat dia sayang. Seperti sudah saya duga, di saat kritisnya pun dia masih memikirkan dan mengurus Aya. Dia begitu bersemangat untuk bisa terus menjaga Aya. Dia masih memastikan semua baik-baik saja. Tapi raga kadang tidak sekuat itu menahan asa. Raga itu butuh istirahat. Dan dia pun tidur setelah fajar. Tidur yang panjang. Menghadap Tuhan.
Insan Fajar. Sekarang kamu sudah tenang. Semua kebaikanmu sudah dan akan selalu dikenang. Jangan khawatir, semua yang ada di sini akan baik-baik saja, juga Aya, karena kamu sudah merawat dan menjaganya dengan penuh kasih sayang. Terima kasih banyak untuk semua yang sudah kamu lakukan. Sekarang, saatnya kamu yang bersenang-senang. Berbahagialah di sana.