Yang Tersisa

Sinergi baru yang mencerahkan serta penuh harapan dari International Conference on Applied Linguistik (Conaplin) I pada 11 – 12 Juni tempo hari di UPI Bandung. Setelah Atmajaya dengan Pelbba dan Kolita yang mengkaji tataran struktural dalam linguistik dan UI yang kuat pada wacana serta budaya, UPI dengan Conaplin-nya menambah warna dunia linguistik Indonesia dengan mengangkat issue pendidikan dan pengajaran. Tentu mereka tak melupakan kajian-kajian linguistik lain yang semakin marak dan semakin melintas batas. Saya senang, karena dengan adanya Conaplin ini banyak muncul orang-orang baru dalam ranah linguistik Indonesia, dengan kajian dan penelitian yang tidak kalah dari „empu“-nya linguist-linguist Indonesia sebelumnya. Malah saya rasa lebih bagus dan beragam, karena mereka terbuka pada kajian-kajian lain, sehingga linguistik tidak hanya menjadi bidang yang „kering“, melainkan bisa menjadi „pisau bedah“ untuk sampai pada kajian-kajian lain.

Tema-tema pendidikan dan situasi terkini menjadi tema yang juga diangkat dalam konferensi ini. Sayangnya tidak dibahas terlalu mendalam masalah-masalah yang semestinya bisa dipecahkan bersama, misalnya masalah nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia yang relatif lebih rendah dari nilai Bahasa Inggris. Di mana letak permasalahannya dan bagaimana pemecahannya, saya rasa bisa dibicarakan dan dibahas bersama, apalagi UPI bisa menjadi motor bagi para pendidik dan kemajuan pendidikan Indonesia. Sayangnya lagi, masih ada juga orang yang “berjarak” dengan masalah yang jelas-jelas ada di depan mata serta masih mempertahankan sikap sebagai akademisi di atas “menara gading” universitas, padahal dia adalah salah seorang “pencetak” para pendidik selanjutnya. Walaupun miris dengan situasi demikian, tetapi saya masih menyimpan harapan pada kesadaran yang tumbuh dari banyak orang yang saya temui di Conaplin tentang masalah pendidikan di Indonesia. Penyelenggaraan konferensi kemarin yang dilaksanakan dengan rapi dan profesional setidaknya menjadi pijakan yang bagus untuk seminar-seminar lanjutan yang tentu lebih menarik dan menjejak bumi.

Unpad kapan? Insha Allah November ini. Berbagi fokus dengan teman-teman dari Atmajaya, UI, dan UPI, kami ingin mengkhususkan diri pada kajian Psikolinguistik dan Linguistik Kognitif, mengingat kami punya Fakultas Psikologi dan Kedokteran yang cukup bagus dan –yang penting- terbuka pada linguistik. Karena kajiannya lebih “ke dalam”, teman-teman di Jurusan Fisika sudah bersedia pula dilibatkan. Beberapa teman sudah fokus pada kajian fisika bunyi terkait emosi yang melibatkan kami dari Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Kedokteran. Kami pun sedang merintis kerjasama dengan Pak Arry Akhmad Arman dari ITB, seorang pakar teknologi bahasa. Disertasinya yang berjudul “Pemodelan Intonasi dalam Bahasa Indonesia” cocok dengan beberapa penelitian yang sedang kami lakukan tentang intonasi terkait emosi dan budaya. Jejaring kerjasama ini saya rasa yang perlu dibangun dan diperluas, karena ilmu tidak bisa berdiri sendiri. Namun, pengkhususan kajian ini bukan berarti menutup diri dari kajian-kajian yang lain, melainkan kami berharap adanya satu pusat kajian linguistik di setiap universitas, tempat orang-orang bisa datang dan menemui pakarnya. Bukan rebutan lahan dan menjadi jumawa dengan ilmunya, melainkan saling mengisi, karena tentu kajian linguistik yang sangat kaya dan beragam ini tidak mungkin dikuasai oleh satu orang atau satu universitas saja. Harapan muncul dari Unesa Surabaya dan UN Malang yang kental kajian pragmatiknya, serta UNS Solo yang maju juga kajian linguistik dan teknologi-nya. Belum lagi dari UGM, UNY, Universitas Petra Surabaya, Universitas Andalas, UN Makassar, dll, yang punya tenaga-tenaga potensial.

Memiliki jejaring yang kuat dan sinergis antaruniversitas di Indonesia memang menjadi impian saya untuk “kesehatan” dan kemajuan dunia pendidikan Indonesia. Bukankah tanggung jawab terbesar ada pada orang-orang di ranah “pendidikan tinggi”? Jika kami masih selalu merasa ada di “menara gading”, kejadian sepulangnya saya dari konferensi tempo hari akan selalu terjadi: seorang anak usia 15-an mencari jalan mendapatkan uang dengan cepat dengan menipu atau seorang mahasiswa mengirimi saya email memohon-mohon agar saya tidak memberinya nilai D atau E, karena dia sudah ada di batas akhir masa kuliahnya dan harus lulus. Kedua kejadian itu “memukul” saya dengan telak. Dan tentu saja ada banyak kejadian semacam atau mungkin lebih parah yang terjadi di dunia pendidikan kita. Tak perlu saya bahas di sini.

Ya, yang tersisa dari Conaplin tempo hari adalah harapan untuk “turun” dari “menara gading” dan menjejakkan kaki di bumi. Berhadapan dengan realitas yang muram dan pahit, yang bukan berarti tidak bisa menjadi terang dan manis. Kerjasama dan kesadaran untuk selalu peka pada sekitar harus selalu dibangun. Mimpi? Mungkin. Namun, saya kok selalu yakin bahwa mimpi pun bisa menjadi kenyataan.

5 Gedanken zu „Yang Tersisa

  1. bisa aja kamu dian…cakrawala baru..perspektif baru…kabar2i terus info yang kamu punya yaaa…
    tapi eamng kadang kita terkooptasi pada keberadaan hegemoni di sekitar kita yaaa…
    sukses buat kamu…dan tetep jalan terussss….

Hinterlasse eine Antwort zu dian Antwort abbrechen