Malaysia #3

Hari ketiga, kami agak sedikit santai. Saking santainya, Pak Azhali yang menjemput kami harus menunggu dulu sampai kami siap. Kami kemudian langsung diantar ke Marriot. Perhatian, hari ini tidak bisa bolos, karena jadwal presentasi Iqbal adalah hari ini sesi terakhir sebelum penutupan.

Kepagian kami tiba di Marriot, panitia penyelenggara pun belum datang.  ”Terpesona” pada arsitektur Marriot yang gigantisch, kami kemudian berkeliling dulu ke kebun belakang hotel. Ada kolam penuh teratai di sana. Arsitektur taman yang indah dan gemericik air sungai yang mengalir. Damai. Suasana pun sejuk. Tak mau membiarkan pemandangan indah nganggur begitu saja, kami pun berfoto-foto ria. Dasar makhluk-makhluk centil. Dan…ada tupai! Berloncatan dengan bebas dari satu pohon ke pohon lainnya di kebun belakang hotel atau menyelusup di antara semak-semak. Saya langsung heboh berteriak-teriak ”Ada tupai!”. Oh ya, kesan saya selama berada beberapa hari di Malaysia adalah biasa-biasa saja, kecuali tupainya. Tupainya luar biasa. Ada di mana-mana, berkeliaran bebas. Di jendela kamar appartement Block 2, di pohon besar depan appartement kami, kemudian di semak-semak dekat appartement kami dan di halaman Hotel Marriot Putrajaya. Hanya tupai abu-abu itu yang bebas melompat berkeliaran. Ehm.

Sesi pertama dimulai. Pak Soenjono,pakar Psikolinguistik dari Atmajaya yang sekarang sedang jadi dosen tamu di Universiti Malaya. Kemarin kami sudah berbincang banyak dan bercanda dengan Bapak dan Ibu Soenjono. Keduanya amat sangat ramah dan bersahaja. Tentu saja sesi pertama ini tidak kami lewatkan. Sebagai sesama orang Indonesia, gitu lho. Dan memang tema yang dibawakan profesor satu ini menarik, cara menyajikannya pun menarik. Memang beda jika yang membawakan suatu tema itu profesor. Tema itu sudah jadi hidupnya, jadi membawakannya pun ringan saja, tanpa perlu mengeluarkan istilah aneh-aneh. Alhasil, Universalgrammatik-nya Chomsky dalam proses pemerolehan bahasa anak Indonesia (subjek penelitiannya adalah Echa, cucu Pak Soenjono sendiri) bisa dipahami dengan lebih mudah dan komprehensif, karena Pak Soenjono pun mengajukan beberapa kritik terhadap teori Chomsky tersebut. Bersetuju dengan dengan Pak Soenjono, teorinya Chomsky memang tidak se-universal namanya, karena Chomsky hanya meneliti gramatika bahasa-bahasa Eropa. Oleh karena itu, pada fase-fase tertentu anak-anak Indonesia bisa lebih lambat memeroleh bahasa, tapi di fase lain anak Indonesia justru lebih cepat dan cerdas dalam memproduksi kata-kata yang terdiri atas beberapa suku kata.

Rehat kopi dilaksanakan kemudian. Tambah lagi deh kesan tentang Malaysia: snack di Hotel Marriot enak semua, hehe. Setelah itu dilanjutkan dengan pembentangan makalah kunci kedua tentang khi kuasa dua. Gubrak. Apaan itu? Awak tak mengerti. Terlebih lagi tak mengerti kenapa hal semacam itu bisa masuk ke area penelitian Psikolinguistik. Wah, ingin kabur deh. Pembentang selanjutnya lumayan menarik. Ekspresif tepatnya. Pembentang itu berasal dari kaum minoritas yang menggugat masalah pengajaran sastra di sekolah-sekolah di Malaysia.

Setelah itu makan siang. Kali ini tak seperti makan siang yang berlimpah ruah layaknya kemarin. Tapi tom yam gung-nya enak lah. Ada berita mengejutkan saat kami makan siang: ayah Merry meninggal, dan Merry harus segera terbang ke Indonesia hari itu. Duh, pantas saja sepanjang hari kemarin Merry terlihat begitu rindu pada Indonesia. Begitu senang bertemu kami dan sepanjang hari menyanyi-nyanyi lagu-lagu Indonesia, sampai lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu wajib pun dinyanyikannya. Saya langsung sms Merry untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa.

Selesai makan siang, shalat. Dilanjutkan dengan sesi-sesi pembentangan makalah lain. Hmm, maaf, saya kok merasa seperti sedang mendengarkan khotbah Jumat yang isinya ”begitu-begitu” saja. Kemudian saya sedikit sewot karena analisis percakapan dalam Bahasa Melayu menjadi Analisis Perbualan. Dih, kesannya seperti sedang membual. Sementara saya begitu serius mendalami analisis ini, jadi saya hanya berbual?! Hehe, ini saya bereaksi berlebihan. Di Malaysia sana berbual kan berkonotasi positif. Maknanya bercakap lah. Duh, tapi tetap saja untuk saya maknanya tidak pas dengan konotasi berbual atau membual dalam Bahasa Indonesia. Dasar orang bahasa, yang seperti itu saja jadi masalah ya. Padahal sudah paham betul bahwa bahasa itu arbitrer, jadi suka-suka dong. Beda bahasa beda makna. Beda bahasa juga beda budaya. Juga kebalikannya.

Berlanjut. Giliran Iqbal menutup seluruh sesi pembentangan makalah dan seminar dua hari itu. Iqbal yang mau presentasi kok saya yang sakit perut ya, hehe. Dianya sendiri cukup bisa menutupi kegugupannya, walau masih tampak. Hanya punya waktu 15 menit, tapi baru 10 menit presentasi, Pak Arbaak yang jadi moderator sudah menutup presentasi Iqbal dengan alasan tempat mau dipakai untuk acara penutupan. Kami hanya terperangah. Begitu saja? Tak ada sesi diskusi sama sekali. Jangankan diskusi, presentasi pun belum diselesaikan, padahal waktu masih ada. Saya langsung curiga, jangan-jangan ini karena ucapan Iqbal beberapa saat sebelum Pak Arbaak menutup presentasi dengan ”paksa”. Iqbal bilang ”beberapa hari saya ada di sini, di Malaysia, saya tidak bisa menangkap emosi apa yang muncul pada orang-orangnya. Ini mengerikan untuk saya, karena semua jadi begitu sublim dan tersembunyi.” Saya kaget ketika mendengar Iqbal mengucapkan kalimat tersebut. Dari awal dia memang sudah kesal dengan orang-orang di sana yang begitu patuh pada represi entah apa. Kalimatnya tersebut mengakibatkan beberapa orang jadi gelisah dan mengubah posisi duduknya. Terutama orang-orang yang duduk di sebelah dan di depan saya, yang nota bene para petinggi universitas. Dan tak lama kemudian, presentasi Iqbal dihentikan. Duh, orang Indon satu ini bikin susah saja. Sudahlah dapat privilege menyelesaikan makalah melebihi batas waktu yang ditentukan, diberi tempat pula, eh…ketika presentasi malah ”ngelunjak”, mungkin begitu pikiran orang-orang. Hehe, ya begitulah.

Iqbal kesal juga tampaknya. Hasil begadang semalaman dan penelitiannya selama ini hanya ”dihargai” sedemikian. Ngomel-ngomel terus dia. Alhasil pelampiasannya kami jadi bertingkah gila-gilaan deh alias makin centil foto-foto dan becanda-becanda setelah acara selesai sambil menunggu Pak Azhali mengantarkan kami pulang. Ah, untung ada Bu Normaliza yang paling normal diantara semua. Maksud normal di sini adalah ibu itu sama ”gilanya” dengan kami. Seadanya saja, tidak jaim. Makanya mungkin kami langsung cocok dengan Bu Normaliza karena dia menyimpan sifat yang sama dengan kami. Jangan-jangan si ibu selama ini tertekan pula tidak bisa melampiaskan sifat dasarnya yang jahil dan suka bercanda serta suka tertawa keras-keras, makanya ketika bertemu kami langsung cocok. Iqbal sampai mau diambil jadi menantu. Langsung deh dia kabur, hehe.

Hujan lebat. Ah, saya selalu suka hujan. Apalagi hujan yang sebenar-benarnya hujan. Hujan itu rumah. Anginnya, derasnya, basahnya, tempiasnya, derunya, wanginya. Menderu-deru dan menempias diselingi guruh dan kilatan petir. Sekali lagi: untuk saya itu rumah. Rasanya ingin segera merangsek keluar dan berdiri di bawah deras dan tempiasnya atau hanya diam di balik kaca jendela menatap airnya yang mengalir pelahan membentuk aliran.

Kami diantar oleh Pak Azhali sampai ke appartement setelah acara perpisahan yang cukup mengharukan dengan Bu Normaliza. Ibu yang baik dan ramah itu. Dan hujan tidak berhenti, pun sampai keesokan harinya kami terbang pulang ke nusantara. Di tengah hujan pula, aliran listrik mati. Ternyata ada mati lampu juga di Malaysia :)

bersambung

3 Gedanken zu „Malaysia #3

  1. Masa sih ada listrik bisa mati di Malaysia? Masa sih ada represi di Malaysia? Oh iya, lupa: berita yang tak sesuai dengan isi jidat tertentu memang tak boleh di… Eh waktu menulis komentar habis.

Hinterlasse eine Antwort zu dian Antwort abbrechen