Umum (?!)

Act 1.

Pagi hari di sebuah rumah sakit pemerintah kota Bandung. Setelah antri lama, sampai juga di depan loket pembayaran. Menyerahkan surat pengantar tes yang baru didapat beberapa menit sebelumnya.

Petugas : ”Ini harus difotocopy dulu, dengan KTP juga. Biaya tes 170 ribu”.
Saya : ”Saya bayar sekarang atau nanti?”
Petugas : ”Sekarang saja”.

Saya menyerahkan uang 200 ribu. Tidak ada kembalian dan tidak ada kuitansi. Karena yang antri banyak dan sudah mulai mendesak-desak saya, saya keluar menuju tempat fotocopy. Penuh. Cari di luar. Selesai. Kembali. Antrian sudah panjang. Antri lagi di belakang. Sampai lagi di depan loket.

Petugas : ”Kok lama sekali?”
Saya : ”Penuh, Mbak, tempat foto copynya. Saya terpaksa foto copy di luar”.
Petugas : ”Ada uang pas? Kasirnya ngga ada. Ngga ada kembalian”.
Saya : ”Ngga ada, Mbak. Kalau ada juga sudah saya berikan tadi”.
Petugas : ”Tuker dulu sana. Nanti balik lagi”.
Saya : (kaget) ”Hah? Dan ngantri lagi?
(mulai kesal) Gimana sih, Mbak?”
Petugas : ”Ya iya, ngantri lagi”.
Saya : (makin kesal) ”Wah, jangan gitu dong, Mbak. Pertama saya ngga dikasih tahu di bagian pendaftaran kalau harus foto copy dulu. Kedua saya sudah ngantri panjang. Kalau harus ngantri lagi hanya untuk urusan kembalian saya ngga mau. Ketiga, mana kasirnya? Penuh begini kok malah ngga ada, dan Mbak ambil uang saya begitu saja padahal kasirnya ngga ada. Kenapa ngga dari tadi saja saya disuruh tukar uang? Saya ngga mau ngantri lagi. Saya tunggu kasirnya di sini.”
Petugas : (cemberut)
Saya : (ikut cemberut juga) ”Tuh kasirnya”
Petugas : (melempar uang saya)

Urusan dengan kasir beres. Untung kasirnya ramah. Kalau ngga, sepertinya bisa terjadi „pertumpahan darah di situ“, hehe.

Act 2.

Hari yang sama. Siang harinya. Tempat: salah satu universitas negeri di Bandung. Ternyata sedang jam istirahat, jadi menyempatkan diri dulu makan siang di Ngopi Doeloe. Sekalian menenangkan diri. Eits, jangan senang dulu. Apa kejadian berikutnya?

Petugas : ”Ini harus ditulis pakai tinta hitam. Bukan pakai bolpoin.” (transkripsi sesuai dengan yang didengar –red.)
Saya : (heran) ”Bolpoin bukan tinta ya?” (pertanyaan bodoh)
Petugas : ”Tinta hitam itu boxy.”
Saya : (masih heran) ”Oh gitu? Saya ngga tahu.
Lagipula, ngga disebutkan di sini tidak boleh pakai bolpoin. Bolpoin kan pakai tinta juga, Bu?” (duh, masih bodoh pula)
Petugas : ”Beda. Bolpoin itu bla bla bla” (berusaha menerangkan, saya masih heran)
Saya : ”Ya udah, nanti saya ganti lagi.”
Petugas : ”Tulis sekarang saja.”
Saya : ”Ngga, di rumah aja.” (ngambek karena ngga tahu apa pentingnya membedakan bolpoin dan boxy)
Petugas : ”Kalau ini di fotocopy ya?”
Saya : (masih dan makin kesal) ”Ini pakai tinta hitam, Bu, semacam boxy, yang jel, bukan bolpoin.
Ibu ini gimana sih? Giliran saya beneran pakai tinta hitam malah disangka foto copy”. (masih kesal ingat ngga penting banget ngurusin boxy dan bolpoin).
Petugas : ”Masa sih? Kayak di foto copy.” (sambil menilik-nilik berkas saya)
Saya : ”Kalau mau kelihatan asli atau bukan, kenapa ngga disuruh pakai tinta biru saja atau tinta warna warni”. (masih kesal)

Selanjutnya masih banyak kejadian ngga penting dan mengesalkan yang ngga harus ditulis di sini. Terlalu panjang dan memang ngga penting.

Act 3.

Keesokan harinya. Pagi hari. Hujan. Kantor polisi di salah satu jalan utama di sebelah timur kota Bandung.

Saya : ”Pagi, Bu. Saya mau melegalisirkan surat keterangan ini.”
Petugas : (tanpa melihat saya mengambil berkas)
Saya : (menyerahkan berkas sambil berkata dalam hati, ”Cintailah sedikit pekerjaanmu, Bu. Pagi-pagi kok sudah cemberut”)
Petugas : ”Aslinya ngga usah (sedikit melemparkan kertas). Tunggu aja di luar” (masih tetap cemberut dan tidak melihat saya)
Saya : ”Oh” (mengambil kertas dan keluar. Speechless).
Petugas : (memanggil nama saya) ”Ini ada biayanya”
Saya : ”Berapa?”
Petugas : (mulai tersenyum dan melihat saya) ”Terserah saja. Saya terima”.
Saya : ”Berapa?”
Petugas : ”Terserah saja” (masih tersenyum)
Saya : ”Ibu tentukan saja, saya ngga tahu.”
Petugas : (masih tersenyum) ”Ya, terserah saja. Saya ngga bisa menentukan”
Saya : ”Wah, saya ngga tahu. Untuk saya harus jelas, lagipula pula saya harus minta kuitansinya untuk biaya legalisir ini”
Petugas : (langsung cemberut lagi dan melempar berkas yang sudah dilegalisir ke arah saya) ”Ya udah, ngga usah.”
Saya : ”Oh. Makasih, kalau gitu.” (pergi)

—-
Rasanya kok terlalu menggeneralisir (bisa saya sebut meng-umum-kan?) kalau saya bilang, ini yang umum terjadi saat kita harus berurusan dengan pelayanan umum. Namun, kejadian-kejadian ini yang (masih) sering membuat saya kesal. Ataukah saya yang tidak umum, karena orang-orang lain yang saya temui di tempat dan diperlakukan sama seperti saya di atas (tampaknya) baik-baik saja dan nurut-nurut saja?

7 Gedanken zu „Umum (?!)

  1. :). Pengalaman yang sama waktu legalisir ijasah, bikin surat kuning, dll. Heran, kok dari dulu sampai sekarang nggak berubah ya? Lebih heran lagi, kok nggak malu ya minta biaya siluman? Nggak takut dosa, gitu?

  2. @ ika: halli hallo, schatzi! vermisse dich sehr. wie läuft’s? solche situation passiert aber auch in dtl., aber die dritte natürlich nicht, oder?

    @ insan: hmm..hmm…

  3. Waktu Siegfried datang ke rumah Gunther, disambutnya baik. Disapa, disambut di pintu, dipuji2, nggak dimintain uang, nggak disuruh fotokopi sendiri, malah dikasih minum, tapi ternyata diracun. Kalau kita disambut baik, mestinya malah curiga. Jangan2 lagi mau diracun :p
    (Salah menginterpretasikan wacara perwagneran –red)

Hinterlasse eine Antwort zu dian Antwort abbrechen