Seimbang

Saya selalu berpikir, merasa, percaya dan yakin bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan. Dalam hal apapun. Karena Allah yang menciptakan semua dan sejatinya tahu apa yang dibutuhkan oleh ciptaan-Nya. Ia tahu yang terbaik. Ia menyeimbangkan segalanya. Namun, kadang –sering- yang terjadi adalah manusia lupa pada keseimbangan itu. Banyak alasannya. Tidak bisa dipungkiri, namanya juga manusia. Wajar lah. Padahal kalau dipikir, dikaji lagi, Islam itu memudahkan kita. Islam itu tidak berlebih dalam segala hal. Islam itu mengajarkan bahwa kita harus biasa saja. Tidak berlebihan. Dalam semua hal.

Ya, tetap saja pada kenyataannya sesuatu yang biasa dibuat tidak biasa, yang tidak biasa dibuat biasa. Saya juga melakukannya. Saya masih begitu juga. Masih belum bisa seimbang dan biasa-biasa saja. Berlebihan di satu sisi, malah banyak kurangnya di sisi yang lain. Saya masih berproses untuk bisa seimbang dan biasa-biasa saja.

Islam mengajarkan hidup. Hidup yang benar-benar hidup. Hidup yang bisa dijadikan jalan menuju-Nya. Itu yang sering dilupakan. Bahwa manusia itu hidup untuk menuju-Nya dengan tidak melupakan hidup itu sendiri. Dengan tidak melupakan bahwa hidup itu tidak bersendiri tapi bersama sesuatu dan bersama yang lain. Saya pikir, di situlah justru kita berkesempatan untuk menuju-Nya. Menjadi diri yang hidup sekaligus juga menjadi bagian dari hidup.

Ketika akhirnya yang ada adalah menutup diri dari hidup, dari lingkungannya, hanya memikirkan dirinya sendiri saja, menjaga kesucian dirinya saja, sudahkah dia menjalankan Islam dengan seimbang? Bisakah dia menutup mata, hanya agar dirinya tidak ternoda, hanya agar dirinya tetap terjaga, sementara lingkungan dan orang-orang di sekitarnya masih perlu dibantu? Bisakah dia menutup mata dan telinganya, menutup diri dan tubuhnya, agar tidak tersentuh sama sekali oleh hal-hal yang menurutnya bisa mengotori dirinya, sementara di sekitarnya masih banyak orang yang perlu diingatkan? Bisakah dia menarik diri dari hidup yang mengelilinginya agar dia tetap suci?

Apakah sebenarnya makna „hidup di jalan-Nya“? Saya kok merasa bahwa itu berarti kita hidup dalam hidup itu sendiri, di jalan yang sudah digariskan-Nya untuk menuju-Nya dengan tanpa melupakan hidup itu sendiri. Dengan tanpa membutakan mata dan menulikan telinga. Kok saya merasa bahwa itu berarti Allah ada di hidup dan perjalanan kita, bahwa Allah ada di sekitar kita, Allah ada setiap saat di mana pun. Dekat dengan kita. Dan kadang –seringnya- kita mengabaikan-Nya saja. Kita memfokuskan diri seolah-olah Dia jauh untuk dituju, sulit untuk dituju, jadinya kita lupa pada hidup itu sendiri. Kok saya merasa bahwa „hidup di jalan-Nya“ itu bermakna hidup bersama-Nya. Hidup dengan kasih-Nya, hidup dengan larangan-Nya. Hmm…

00:21

"Wer vermag seinen Glauben von seinen Taten zu trennen oder sein Bekenntnis von seinem Beruf?" (KG)

Hinterlasse einen Kommentar